Minggu, 18 Juli 2010

PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF

Ilmu ekonomi modern yang saat ini berkembang pesat di Barat, adalah merupakan kelanjutan perkembangan ilmu ekonomi dari masa ke masa, mulai zaman pra sejarah sampai zaman modern saat ini, tanpa terputus sama sekali. Semua peradaban yang pernah eksis dalam sejarah kehidupan manusia turut andil dalam proses evolusi ilmu ekonomi. Ada suatu masa di mana peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya dan berkontribusi besar dalam pengembangan science termasuk di dalamnya ilmu ekonomi, namun masa kejayaan ini berusaha ditutup rapat oleh para Ilmuan Barat dan Eropa yang menurut Schumpeter dalam economic analysisnya disebut sebagai Great Gap.

Salah satu ilmuan Muslim yang berkontribusi besar dalam pemikiran ekonomi adalah Abu Yusuf. Sebenarnya banyak teori ekonomi dan konsep keuangan publik yang lahir dari buah pikirannya, sebelum teori dan konsep tersebut secara masive berkembang di alam pikiran Ilmuan Barat. Besar dugaan bahwa Ilmuan Barat banyak mengutip secara sembunyi-sembunyi pemikiran Abu Yusuf dalam berbagai persoalan ekonomi tanpa mengikutsertakan sumber referensinya.

Tulisan ini berusaha menelusuri pokok-pokok pemikiran Abu Yusuf tentang konsep ekonomi. Abu Yusuf yang nama lengkapnya adalah Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husaen al-Anshory adalah seorang Ulama yang memiliki keilmuan yang luas dalam berbagai pesoalan kehidupan. Ia lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Bagdad pada tahun 182 H (798 H). Pemikiran-pemikiran nya dituangkan dalam berbagai karyanya, kitab al-Kharaj mungkin adalah karyanya yang paling fenomenal sepanjang sejarah. Karena keluasan dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah, Harun ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhah). Beliau juga terkenal sebagai salah satu murid dan pengikut Abu Hanifah pendiri Mazhab Hanafi.

Pendekatan dan metode pemikiran yang digunakan oleh Abu Yusuf adalah dengan mengkombinasikan dalil naqliah dengan dalil aqliah, paparan pemikiran ekonominya menggunakan perangkat analis qiyas dengan mengedepankan konsep al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum), sehingga buah pemikirannya dianggap lebih relevan dan fleksibel dengan kondisi yang ada.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi kontribusi besar Abu Yusuf dalam perkembangan ilmu ekonomi, yakni pemikirannya tentang konsep keuangan publik (perpajakan) dan mekanisme pasar (hukum supply-demand) . Pembahasan tentang kedua konsep dasar tersebut bisa ditemukan dalam bukunya, kitab al-Kharaj. Kitab al-Kharaj sebenarnya menjadi buku panduan dalam kebijakan pengelolaan keuangan publik. Kitab ini lebih bersifat birokratif karena ditulis sebagai respon atas pertanyaan khalifah Harun al-Rasyid seputar keuangan negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi pendapatan dan pengeluaran negara yang didasarkan pada ketentuan agama (shariah Islam) demi menciptakan kesejahteraan dan keadilan masyarakat dan mencegah terjadinya kedzaliman dan penindasan.

Yang menjadi prinsip dasar pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi adalah bahwa semua kekayaan yang dikumpulkan dan dikelola oleh khalifah adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Semua kebijakan negara harus mengedepankan aspek kepentingan rakyat seluas-luasnya.

Dalam konsep keuangan publik, penerimaan negara menurut Abu Yusuf dapat diklasifikasin dalam tiga kategori utama, yaitu (1) Ghanimah, (2) Shadakah, (3) harta fay yang didalamnya termasuk jizyah, ‘usyur dan kharaj. Ghanimah adalah harta orang kafir yang dikuasai oleh kaum Muslim melalui peperangan. Penerimaan negara ini sifatnya tidak rutin sehingga digolongkan sebagai pemasukan tidak tetap. Teknis pendistribusiannya sesuai dengan panduan dalam al-Qur’an Surat al-Anfal ayat 41.

Zakat, menurut Abu Yusuf menjadi sumber keuangan negara. Diantara objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat pertanian dan zakat dari hasil barang tambang. Penentuan persentase zakat pertanian didasarkan pertimbangan pada jenis tanah dan irigasinya. Tanah yang tidak membutuhkan tenaga yang banyak dalam irigasinya, jumlah zakatnya 10 persen, sementara 5 persen jika tanah memerlukan kerja keras untuk menyediakan air dan irigasinya. Dalam penentuan jumlah persentasi ini selain merujuk pada nash, Abu Yusuf nampaknya sangat mengedepankan aspek keadilannya.

Sumber pendapatan negara lainnya menurut Abu Yusuf adalah harta fay. Jenis harta ini termasuk didalamnya jizyah; pajak yang ditarik dari penduduk non Muslim di negara muslim sebagai biaya perlindungan, Usyr; pajak harta perdagangan yang dipungut dari kaum Muslim maupun non-Muslim, dan Kharaj; pajak tanah yang dipungut dari non Muslim. Jenis yang terakhir ini menjadi sumber pendapatan utama negara islam sepanjang pemerintahan khilafah Islam.

Dalama pandangan Abu Yusuf, fungsi utama penguasa adalah mewujudkan dan menjamin terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Alokasi anggaran keuangan negara harus didistribusikan pada pengadaan barang-barang publik demi terwujudnya kesejahteraan umum. Konsep tentang barang publik (public goods) sudah dikemukan oleh Abu Yusuf jauh sebelum konsep ini muncul dalam teori konvensional tentang keuangan publik. Negara harus membangun fasilitas infrastruktur seperti penggalian kanal, pembersihan kanal-kanal umum yang biayanya diambil dari anggaran negara. Beliau juga berpendapat bahwa fasilitas yang hanya menguntungkan pihak tertentu maka biaya pengadaan dan pemeliharaannya dibebankan kelompok tersebut.

“jika proyek seperti itu menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, anda harus memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua biaya harus ditanggung oleh keuangan negara. Jangan menarik biaya itu dari rakyat dari wilayah tersebut karena mereka yang seharusnya ditingkatkan, bukan dihancurkan.” (kutipan dari Adiwarman, 2009)

Abu Yusuf memahami betul bahwa pengadaan barang-barang publik akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Fasilitas umum akan meningkatkan produktivitas masyarakat. Jika tingkat produksi meningkat maka pendapatan negara dari sektor pajak pun akan mengalami peningkatan.

Dalam konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah). Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa mempertimbangakan unsur kesuburan tanah, irigasi dan jenis tanaman. Sedangkan metode muqasamah, tingkat pajak didasarkan pada ratio tertentu dari total produksi yang dihasilkan. Beliau menilai sistem pajak proporsional (muqasamah) lebih adil dan tidak memberatkan bagi para petani sedangkan sitem pajak tetap (misahah) tidak memiliki ketentuan apakah harus ditarik dalam jumlah uang atau barang. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh negatif.

Dalam penentuan tingkat pajak harus mempertimbangkan jenis tanah, irigasi dan jenis tanamannya demi memastikan terjadinya keadilan dalam pemungutan pajak.

Abu Yusuf juga menekankan pentingnya menunjuk administrator pajak yang amanah dan tidak koruptif. Mereka harus bekerja secara professional dan ia menganjurkan gaji mereka diambil dari bait mal dan bukan dari pembayar kharaj langsung. Ini dilakukan demi menghindari terjadinya tindakan penyuapan, korupsi dan kongkalikon dengan pihak wajib pajak. Bahkan beliau menyarankan diadakan penyelidikan terhadap perilaku para pemungut pajak.

Konsep ekonomi Abu Yusuf lainnya adalah tentang mekanisme pasar. Ia bependapat bahwa naik turunnya harga suatu barang tidak selamanya ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ada kalanya makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan adakalanya makanan sangat terbatas tetapi murah. Lebih lanjut beliau mengatakan, (Ghazanfar, 2003)

“Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan kehendak Allah.”

Untuk menjamin terciptanya harga pasar yang adil maka penguasa harus membersihkan pasar dari unsur penimbunan, monopoli dan korupsi. Hasilnya, harga yang terbentuk betul-betul murni dari kekuatan permintaan dan penawaran.

Selasa, 29 Juni 2010

Selayang Pandang Serikat Dagang dalam Islam

Pendahuluan

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.

Saudaraku, mungkin saat ini Anda memiliki segudang keahlian dan pengalaman. Akan tetapi, hingga saat ini Anda masih juga belum mampu mengoptimalkan potensi diri Anda. Kondisi ini menyebabkan Anda hanya bisa menikmati sebagian kecil dari potensi Anda. Mungkin pada suatu hari, Anda pernah berpikir, "Andai aku memiliki cukup modal, aku bisa lebih banyak menikmati hasil tetesan peluhku."

Tidak perlu berkecil hati, Saudaraku. Banyak pintu yang dapat Anda tembus guna merubah garis hidup Anda. Di antaranya ialah dengan berserikat dengan sebagian dari saudara-saudara Anda yang senasib dengan diri Anda. Dengan memilih opsi ini, pintu sukses semakin terbuka lebar di hadapan Anda, karena semakin besar unit usaha yang Anda rintis bersama saudara Anda, maka tetesan peluh Anda akan semakin bernilai. Tidakkah Anda mendambakan yang demikian, Saudaraku?

Melalui tulisan sederhana ini, saya berkeinginan untuk memberikan gambaran singkat tentang seluk-beluk hukum serikat dagang yang dalam syariat Islam. Harapan saya, langkah Anda dalam merintis sukses di dunia usaha akan semakin mantap dan selaras dengan syariat Allah Ta'ala.

Hukum Berserikat dalam Perdagangan


Ibnu Qudamah al-Hambali menyatakan, "Secara garis besar, ulama telah bersepakat bahwa hukum serikat dagang adalah boleh. Hanya saja, mereka berselisih pendapat pada sebagian perinciannya." (Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 7/109)

Berikut ini adalah sebagian dalil yang mendasari kesepakatan ulama di atas:

"Abu Minhal mengisahkan bahwa al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam adalah dua orang yang saling berserikat. Pada suatu hari, keduanya membeli sejumlah perak. Sebagian pembayaran dilakukan dengan tunai dan sisanya terutang. Selanjutnya, perihal pembelian ini terdengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau segera memerintahkan keduanya agar melanjutkan pembelian yang pembayarannya tunai, dan membatalkan pembelian yang pembayarannya terutang." (Hr. Bukhari)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengisahkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah berfirman, 'Aku senantiasa menyertai dua orang yang berserikat, selama tidak ada dari keduanya yang mengkhianati sahabatnya. Bila ada dari mereka yang berbuat khianat, maka Aku meninggalkan mereka berdua.'" (Hr. Abu Daud, ad-Daraquthni, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang dha'if)

Dengan Siapa Anda Berserikat Dagang?

Setelah mengetahui hukum serikat dagang dalam Islam, mungkin pertanyaan pertama yang terbetik dalam pikiran Anda adalah, "Dengan siapa saya harus berserikat dagang?"

Terlebih-lebih di zaman ini, betapa sulitnya mendapatkan orang yang benar-benar layak untuk menerima kepercayaan sebagai sekutu Anda dalam berniaga. Atau mungkinkah Anda rela berspekulasi dan bersekutu dengan siapa saja, tanpa peduli dengan tingkat kredibilitasnya? Saya yakin Anda pasti bersikap selektif dan berusaha untuk memilih partner yang benar-benar bagus dan banyak memiliki kelebihan.

Akan tetapi, pernahkah Anda berpikir bahwa di antara kriteria seorang partner yang baik ialah tingkat kepatuhannya terhadap berbagai hukum syariat?

Mengapa demikian? Karena setiap partner niaga bertindak bukan hanya atas nama pribadinya, namun mewakili seluruh pemilik saham perusahaan. Dengan demikian, setiap pemilik saham bertanggung jawab atas setiap keputusan dan perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan.

Penjelasan ini sebagai wujud nyata dari asas perserikatan dagang dalam islam, yaitu al-wakalah (perwakilan) dan amanah. Masing-masing pemegang saham berperan mewakili dan memangku amanah (kepercayaan) dari pemegang saham lainnya.

Tidak heran bila para ulama menganjurkan Anda untuk tidak berserikat dagang dengan orang yang berseberangan agama dengan Anda.

Imran bin Abi Atha` bertanya kepada Ibnu 'Abbas, "Sesungguhnya ada seorang pedagang kambing, dia bersekutu dengan seorang Yahudi dan seorang Nasrani." Ibnu 'Abbas menjawab, "Janganlah engkau bersekutu dengan seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Aku pun kembali bertanya, "Mengapa?" Ibnu 'Abbas kembali menjawab, "Karena mereka terbiasa bertransaksi riba, dan riba tidak halal." (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

Dari pernyataan Ibnu 'Abbas ini dapat dipahami bahwa boleh bersekutu dengan orang Yahudi atau Nasrani selama mereka tidak menangani langsung bisnis di lapangan, atau selama mereka berkomitmen untuk tidak melanggar hukum syariat. Karenanya, murid-murid Ibnu 'Abbas, di antaranya 'Atha', Thawus, dan Mujahid menyatakan, "Bersekutu dengan seorang Yahudi dan Nasrani itu dimakruhkan, kecuali bila yang menjalankan perniagaan di lapangan adalah partner yang beragama Islam." (Hr. Ibnu Abi Syaibah)

Penjelasan ini juga berdasarkan pada praktik Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mempercayakan pengelolaan ladang milik umat Islam di negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi setempat, dan beliau memberikan persyaratan kepada mereka, "Umat Islam berwewenang penuh untuk memutuskan hubungan kerjasama ini kapan pun mereka menghendakinya." (Hr. Bukhari dan Muslim)

Modal Perserikatan

Para ulama telah menyepakati bahwa modal perserikatan dapat diwujudkan dalam bentuk uang yang berlaku untuk alat transaksi. Hanya saja, mereka berselisih pendapat: apakah harta kekayaan selain uang dapat pula dijadikan sebagai modal dalam perserikatan?

Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkan harta kekayaan selain uang sebagai modal perserikatan. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut:

  1. Hukum asal dalam setiap urusan duniawi, termasuk perserikatan dagang, adalah boleh.
  2. Anologi/qiyas dengan akad musaqah (penggarapan ladang), karena berbagai hukum yang berlaku pada akad musaqah berlaku pula pada akad serikat dagang.
  3. Tujuan serikat dagang ialah mencari keuntungan, sedangkan keuntungan dapat diperoleh dengan pengelolaan barang, sebagaimana halnya dengan mata uang.


Hanya saja, bila modal serikat dagang berbentuk barang, perlu dicatatkan bahwa yang dihitung sebagai modal ialah harga jual barang tersebut pada hari penandatanganan akad serikat dagang. Hal ini bertujuan untuk menghindari perselisihan tentang kadar kepemilikan masing-masing sekutu terhadap badan usaha mereka. (Baca: Nihayatul Mathlab oleh al-Juwaini: 7/23; al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 7/124)

Kejelasan dalam Modal Usaha

Di antara ketentuan penting yang sepantasnya Anda indahkan pada awal pembentukan serikat dagang ialah kejelasan modal masing-masing sekutu. Bila modal berupa uang, maka nominalnya jelas, dan bila berupa barang atau hak atas kekayaan intelektual (HKI), maka nilai jual barang atau hak tersebut disepakati pada awal pendirian badan usaha. Selanjutnya, semuanya dituliskan dengan cara-cara yang benar, sehingga memiliki kekuatan hukum.

Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Karena biasanya, pada awal perserikatan, masing-masing pihak memiliki toleransi tinggi. Akan tetapi, bersama berjalannya perserikatan, terlebih-lebih setelah menjadi besar, toleransi telah terkikis, sedangkan ambisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin semakin berkobar.

وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

"Dan sesungguhnya pada kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini." (Qs. Shad: 24)

Saham Kosong

Di antara hal yang biasa terjadi di berbagai perusahaan ialah adanya pemberian saham kosong kepada beberapa pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan bagian dari keuntungan sebesar persentase saham tersebut. Namun, saham ini memiliki berbagai perbedaan dari saham biasa. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:

  1. Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan bagian dari keuntungan (dividen).
  2. Pemegang saham kosong tidak dihitung dari anggota pemegang saham yang berhak mengahadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
  3. Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.


Disebabkan oleh karakter saham kosong yang demikian ini, maka kebanyakan ulama kontemporer mengharamkan saham kosong, dengan alasan sebagai berikut:

Alasan pertama.
Saham kosong, sejatinya, adalah salah satu bentuk jual-beli jasa, sehingga nominal nilai jualnya haruslah diketahui dan tidak dalam hitungan persentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian, saham kosong ini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung gharar (unsur ketidakjelasan) ." (Hr. Muslim)

Alasan kedua. Saham kosong sering kali membahayakan masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.

Alasan ketiga. Biasanya, saham kosong adalah pintu lebar buat terjadinya praktik manipulasi, suap, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. (Suq al-Auraq al-Maliyah, oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 320--321)

Ruang Gerak Perusahaan

Tidak diragukan bahwa ruang gerak dan unit usaha setiap perusahaan yang dibangun oleh seorang muslim atau dibangun di negeri Islam dibatasi oleh hukum-hukum Allah Ta'ala. Karenanya, tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk menjalankan suatu unit usaha yang memproduksi atau memasarkan barang atau jasa yang diharamkan dalam Islam.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggariskan hal ini dengan bersabda, "Sesungguhnya, bila Allah mengharamkan suatu hal, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya." (Hr. Ahmad, Abu Daud, dan ad-Daraquthni)

Asas Hubungan antara Pemilik Saham


Mengetahui asas yang mendasari setiap hubungan yang Anda jalin menjadikan Anda memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait. Karenanya, sejak dahulu kala, para ulama ahli fikih memberikan perhatian khusus tentang hal ini.

Ibnu Qudamah berkata, "Serikat dagang biasanya didasari oleh perwakilan dan amanah, karena masing-masing sekutu, mempercayakan pengelolaan modalnya kepada partnernya dan pada waktu yang sama ia mengizinkannya partnernya untuk mewakili dirinya." (Al-Mughni: 7/128; baca pula: Nihayatul Mathlab: 7/24 dan Bidayatul Mujtahid: 2/256)

Bila demikian adanya, maka masing-masing sekutu berkewajiban untuk berusaha mendatangkan keuntungan sebesar mungkin. Karenanya, as-Suyuthi menjelaskan bahwa setiap orang yang bertindak untuk orang lain wajib melakukan yang terbaik bagi pihak yang memberinya kepercayaan. (Al-Asybah wa an-Nazhair: 49)

Di antara aplikasi nyata asas ini, masing-masing sekutu tidak dibenarkan untuk membelanjakan harta perusahaan kecuali pada pos-pos yang mendatangkan keuntungan untuk perusahaan. (Bidayatul Mujtahid: 2/256 dan Raudhatuth Thalibin: 3/515)

Karakter Akad Serikat Dagang

Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa serikat dagang adalah salah satu akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, masing-masing sekutu berhak menghentikan perserikatan kapan pun ia suka, asalkan tidak menimbulkan kerugian pada partnernya.
Sebagaimana akad serikat menjadi terhenti bila salah satu dari sekutu meninggal dunia, kecuali bila ahli warisnya menghendaki agar perserikatan dilanjutkan dan mereka menunjuk pengganti sekutu yang meninggal tersebut. (Baca: Al-Mughni: 7/131, Raudhatuth Thalibin: 3/515-516, dan Bidayatul Mujtahid: 2/225--256)

Hak dan Tanggung Jawab Masing-masing Sekutu

Saudaraku, untuk urusan hak, saya yakin Anda pasti mengetahui bahwa hak utama masing-masing sekutu dagang ialah mendapatkan bagian dari keuntungan usaha.
Pendapat yang paling kuat dalam hal pembagian keuntungan ialah pendapat yang membolehkan pembagian keuntungan, sesuai dengan kesepakatan, walaupun tidak berbanding lurus dengan nomimal modal masing-masing.

Alasannya adalah karena keuntungan dalam usaha dihasilkan bukan hanya dari modal, tetapi juga dari kerja dan keahlian seluruh pihak terkait. Bila demikian adanya, bisa saja kerja dan peranan sebagian sekutu lebih dominan dalam mendatangkan keuntungan dibanding lainnya. Sehingga, wajar bila sekutu yang paling berperan dalam mendatangkan keuntungan mendapatkan deviden lebih besar dari yang diberikan kepada lainnya. Pendapat inilah yang dianut dalam Mazhab Hanafi dan Hambali. (Al-Mughni: 7/138 dan Badai'i ash-Shanai'i: 6/62)

Sebagaimana setiap sekutu memiliki hak untuk turut menentukan arah kebijaksanaan dan gerak perusahaan, masing-masing sebesar persentase modal yang ia miliki. Hanya saja, pada praktik perserikatan dagang yang berlaku saat ini, telah dikenal sesuatu yang disebut dengan saham preferen. Pemilik saham ini memiliki bebeberapa kelebihan dibanding pemilik saham biasa, di antaranya:

  1. Mendapatkan deviden yang terjamin, dalam jumlah tetap dan dalam persentase tertentu dari total saham yang dimiliki, tanpa ada bedanya apakah perusahaan merugi atau untung.
  2. Memiliki hak untuk mendapatkan deviden lebih dahulu.
  3. Memiliki hak suara lebih tinggi dibanding pemilik saham biasa.


Untuk mengetahui hukum saham preferen, Anda perlu mengetahui dua hal berikut:

  1. Para ulama telah bersepakat bahwa kerugian harus berbanding sejajar dengan jumlah saham yang dimiliki, karena arti dari kerugian usaha ialah modal usaha menjadi berkurang. Dengan demikian, kewajiban masing-masing sekutu atas segala kerugian dan risiko perusahaan hanyalah sebesar persentase saham yang ia miliki dari total saham perusahaan.
  2. Masing-masing sekutu dagang hanya berhak mendapatkan deviden bila perusahaan benar-benar membukukan keuntungan. Sehingga, bila perusahaan tidak berhasil membukukan keuntungan, mereka tidak berhak mendapatkan deviden.
  3. Besar atau kecilnya deviden yang diperoleh setiap sekutu berbanding lurus dengan besar atau kecilnya keuntungan yang berhasil dibukukan perusahaan. Sehingga, deviden setiap sekutu, bersifat fluktuatif, dan tidak tetap.

Dengan memahami ketiga hal ini, dapat disimpulkan bahwa saham preferen mengandung unsur riba, sehingga hukumnya pun haram.

Penutup

Penjelasan yang saya paparkan di atas hanyalah gambaran singkat tentang berbagai hukum perserikatan dagang dalam syariat Islam. Perlu saya tekankan, pintu terjadinya kesalahan pun senantiasa terbuka. Karenanya, saran dan kritik sangat berharga bagi kita semua. Harapan saya, tulisan ini memotivasi Anda untuk semakin gigih dalam mempelajari syariat agama yang kita cintai ini. Sehingga, dengan semakin bertambahnya umur, Anda semakin dekat dengan Allah Ta'ala. Wallahu Ta'ala a'lam bish-shawab.

Penulis: Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.

Jumat, 25 Juni 2010

DAMPAK NEGATIF HARTA HARAM-ram-ran-ram


Saudaraku! Segala puji hanya milik Allah yang telah menurunkan kepada kita syari'at-Nya yang sarat dengan hikmah ini. Karenanya, Anda dapatkan bahwa segala perintah agama walaupun kadang kala menimbulkan kesusahan dan kesan kerugian, akan tetapi kemaslahatannya jauh melebihi kesusahan yang ada. Dan sebaliknya, segala larangan, walaupun kadang kala mendatangkan keuntungan, akan tetapi kerugian yang melekat padanya jauh lebih banyak dari keuntunganya.

Ibnu taimiyyah berkata: "Mungkin saja pelaku hal-hal yang diharamkan, berupa perbuatan syirik, minum khamer, berjudi, berzina, dan berlaku lalim, mendapatkan beberapa keuntungan dan tujuan. Akan tetapi tatkala kerugian dan kerusakannya lebih banyak dibanding keuntungannya, maka Allah dan Rasul-Nyapun melarangnya. Sebaliknya, banyak dari perintah agama, seperti amal ibadah, jihad, dan menginfakkan harta, kadang kala mengandung kerugian. Akan tetapi karena keuntungannya lebih besar dibanding kerugiannya, maka Allah-pun memerintahkannya." (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/265, 16/165, & 24/278)

Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan petuah kepada umatnya dengan bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ. متفق عليه

"(pintu-pintu) Surga itu diselimuti oleh hal-hal yang menyusahkan dan (pintu-pintu) neraka diselimuti oleh segala yang menyenangkan." (Muttafaqun 'alaih)

Imam An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata: "Tidaklah surga dapat digapai melainkah setelah anda menerjang tabir kesusahan yang menyelimutinya. Sebagaimana neraka tidak akan menjadi nasib anda melainkan setelah anda menerjang tabir syahwat/kesenangan yang menyelimutinya. Demikianlah surga dan neraka ditutupi oleh dua hal tersebut. Maka barang siapa telah menyingkap tabir penutup, niscaya ia akan masuk ke dalam apa yang ada dibelakangnya. Menyingkap tabir penutup surga dengan menerjang kesusahan, dan menyingkap tabir penutup neraka dengan menuruti syahwat." (Syarah Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi 17/165)

Sebagai seorang muslim yang mendapat karunia akal sehat, tentu anda akan memilih surga dengan sedikit menahan rasa sakit dan derita yang senantiasa menyelimuti jalan-jalan surga. Sebagaimana sudah spatutnya bagi anda untuk tidak tergiur dengan secuil kesenangan fana yang menyelimuti jalan-jalan neraka.

Sobat! Dahulu nenek moyang kita berpetuah melalui puisi berikut:

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu.
Bersenang-senang kemudian.


Demikianlah kira-kira petuah nenek moyang kita yang menggambarkan makna hadits di atas.

Selanjutnya terserah anda, apakah anda tergiur sehingga bersenang-senang dahulu lalu selanjutnya bersakit-sakit selamanya, ataukah anda berpikir rasional, sehingga bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian dan untuk selama-lamanya? Silahkan tentukan pilihan anda.

Berikut beberapa dampak negatif dari harta haram:

1. Sumber Kemurkaan Allah di Dunia dan Akhirat

Saudaraku! Allah Ta'ala telah melapangkan jalan di depan anda, berbagai pintu rizki halal dibuka selebar-lebarnya untuk anda. Akan tetapi bila anda tetap juga mencari jalan yang berliku dan sempit, maka sudah sepantasnya Allah akan menimpakan kemurkaanya kepada anda di dunia dan akhirat:

كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

"Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Qs. Thaha: 81)

Pada ayat ini Allah Ta'ala dengan tegas memerintahkan Bani Israil untuk memakan rizki yang baik lagi halal. Sebagaimana Allah melarang mereka dari berbuat melampaui batas dalam urusan rizki, yaitu dengan mencarinya dari jalan-jalan yang haram, dan membelanjakannya dijalan yang haram. Bila mereka melakukan hal itu, maka Allah telah mengancam mereka dengan kemurkaan.

Ibnu Jarir menjelaskan maksud dari kebinasaan yang dimaksud pada ayat ini dengan berkata: "Barang siapa yang telah mendapat ketentuan untuk ditimpa kemurkaan-Ku, maka ia sungguh telah terjerumus dan pasti akan sengsara." (Tafsir Ibnu Jarir 18/347)

Saudaraku! Coba anda bertanya kepada diri sendiri: Untuk apakah aku bekerja dan mencari harta? Saya yakin jawabannya ialah agar dapat hidup enak dan bahagia. Akan tetapi apa pendapat anda bila ternyata pekerjaan dan penghasilan anda malah menyebabkan anda sengsara? Akankah anda meneruskan pekerjaan dan penghasilan anda itu? Dan apakah perasaan anda bila ternyata harta yag berhasil anda kumpulkan tidak mendatang kebahagian bagi anda malah menyebabkan anda menderita dan sengsara? Renungkan baik-baik saudaraku!

2. Harta Haram Adalah Bara Neraka

Sebagai dampak langsung dari rizki haram ialah akan harta tersebut akan mejadi bara api neraka. Ketahuilah saudaraku, bahwa harta benda anda bila anda peroleh dari jalan yang tidak halal, atau anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, sehingga harta anda menjadi haram, maka harta tersebut akan menjadi alat untuk menyiksa diri anda kelak di hari kiamat.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar suara dua orang yang bersengketa di depan rumahnya. Maka beliaupun segera keluar guna mengadili persengketaan mereka berdua. Beliau bersabda kepada mereka:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى نَحْوَ مَا أَسْمَعُ ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ. متفق عليه

"Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua membawa persengketaan kalian kepadaku. Mungkin saja salah seorang dari kalian lebih lihai dalam membawakan alasannya dibanding lawannya, sehingga akupun memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian. Maka barang siapa yang sebagian hak saudaranya aku putuskan untuknya, maka hendaknya ia tidak mengambil hak itu; karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya sebongkah bara api neraka." (Muttafaqun 'alaih)

Pada hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan bahwa hak saudara anda yang anda rampas melalui jalur hukum, digambarkan sebagai bongkahan bara api neraka. Coba anda bayangkan, anda anda duduk di hadapan seorang hakim, lalu ia pada saat pembacaan amar putusan, ia memberi anda sebongkah bara api. Mungkinkah anda dengan senang hati dan kedua tangan anda menyambut bara api itu lalu menyimpannya dalam saku atau di dalam rumah anda?

Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa perumpamaan bongkahan bara api ini menggambarkan kepada anda betapa pedihnya siksa yang akan menimpa anda. (Fathul Bari 13/173)

Pada hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bentuk lain dari siksa yang menimpa perampas hak saudaranya:

مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. رواه مسلم

"Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan cara-cara zhalim (tidak dibenarkan), niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan mengalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi." (Riwayat Muslim)

Demikianlah, bila akibatnya bila anda merampas hak-hak saudara anda.

Adapun bila harta haram yang anda miliki adalah karena anda tidak menunaikan kewajiban anda padanya, zaitu zakat, maka simaklah siksa yang telah menanti anda:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahannam, lalu dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan." (Qs. At Taubah: 34-35)

Ibnu Katsir berkata: "Barang siapa yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Karena orang-orang yang disebutkan pada ayat ini semasa hidupnya di dunia lebih mencintai harta bendanya dibanding keridhaan Allah, di akhirat mereka disiksa dengan hartanya. Sebagaimana halnya Abu Lahab -semoga laknat Allah selalu menimpanya-, dengan dibantu oleh istri tercintanya berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka kelak di hari kiamat, istri tercintanya berbalik turut menyiksa dirinya:

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

"Yang di lehernya ada tali dari sabut." (Qs. Al Lahab: 5). Maksudnya, kelak di neraka istri Abu Lahab itu terus menerus mengumpulkan kayu bakar lalu mencampakkannya kepada suaminya yaitu Abu Lahab. Dengan demikian siksa neraka terasa semakin pedih baginya, karena orang yang paling ia cintai di dunia turut menyiksa dirinya.

Demikian pula halnya dengan harta benda. Harta benda yang begitu disayang oleh para pemiliknya, sehingga mereka enggan menunaikan zakat, maka kelak di hari kiamat, harta itu menjadi alat penyiksa yang paling menyakitkan. Harta benda itu akan dipanaskan lalu para pemiliknya akan dipanggang dengannya. Betapa panasnya api yang ia rasakan kala itu. Dahi, pinggang dan punggungnya akan dipanggang dengannya." (Tafsir Ibnu Katsir 4/141)

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً ، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ، لَهُ زَبِيبَتَانِ، يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ - يَعْنِى شِدْقَيْهِ - ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ. ثُمَّ تَلاَ ولاَ يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ . إلى آخر الآية متفق عليه

"Barang siapa yang telah Allah beri harta kekayaan, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, niscaya kelak pada hari kiamat harta kekayaannya akan diwujudkan dalam bentuk ular berkepala botak, di atas kedua matanya terdapat dua titik hitam. Kelak pada hari kiamat, ular itu akan melilit lehernya, lalu dengan rahangnya ular itu menggigit tangannya, Selanjutnya ular itu berkata kepadanya: 'Aku adalah harta kekayaanmu, aku adalah harta timbunanmu,' selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah Ta'ala:

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Ali Imran: 180). (Muttafaqun 'alaih)

Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: "Hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib ditunaikan hanyalah sebagiannya saja, adalah karena zakat yang harus ditunaikan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Ditambah lagi karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci." (Fathul Bari 3/305)

Saudaraku! ketahuilah bahwa surga adalah tempat segala kebaikan, dan tidak ada kejelekan sedikitpun di dalamnya. Karenanya hendaknya anda senantiasa waspada agar tidak ada sedikitpun dari tubuh anda atau keluarga anda yang tumbuh dari harta haram. Relakah anda bila sebagian dari tubuh anda yang tidak layak masuk surga dan harus masuk neraka?

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ. رواه الحاكم والبيهقي وصححه الألباني

"Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya." (Riwayat Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

3. Harta Haram Biang Petaka di Dunia

Saudaraku! Andai anda memiliki suatu alat elektronik atau kendaraan produk perusahaan A, akankah anda merawat dan mereparasinya dengan cara-cara yang diajarkan oleh perusahaan B?

Coba anda bayangkan, apa yang terjadi bila anda merawat dan mereparasi kendaraan Mercedes Benz anda dengan cara-cara yang dilakukan dan diajarkan oleh kusir pedati atau andong?

Apa penilaian anda terhadap orang yang ingin menjalankan kendaraannya akan ia mengganti bensin dengan seikat rumput atau sepiring nasi, mungkinkah kendaraannya dapat berjalan?

Demikianlah kira-kira gambaran orang yang hendak memakmurkan dunia, menjaga kelestarian ekosistem alam, dan mencegah petaka menimpa dunia dengan cara-cara yang menyelisihi syari'at Allah.

Anda pasti beriman bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah, tentu andapun beriman bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk memakmurkan dan menjaga kelestariannya ialah dengan mengindahkan syari'at Allah.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. An Nahl: 97)

Saudaraku! Ketahuilah, banyak dari cara-cara yang kita tempuh dalam mengembangkan dan mengelola harta karunia Allah nyata-nyata melanggar syari'at-Nya. Tidak heran bila kemurkaan Allah Ta'ala sering menghampiri kehidupan kita dan berbagai bencana silih berganti mewarnai hari-hari kita.

Bila dahulu negri kita terkenal dengan negri yang makmur, subur dan aman sentosa, akan tetapi sekarang senantiasa dirundung bencana dan musibah. Bila musin hujan, banjir bandang menghancurkan kehidupan banyak saudara kita, bila kemarau tiba kekeringanpun melanda. Gunung meletus, tanah longsor, bumi memuntahkan isi perutnya, dan harga kebutuhan pokok terus berlari menjauhi kita.

Anda ingin tahu apa sebabnya? Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. رواه ابن ماجة والحاكم والبيهقي وحسنه الألباني

"Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan." (Riwayat Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Saudaraku! Apa yang menimpa perekonomian dunia sekarang ini cukuplah menjadi pelajaran bagi anda. Masyarakat dunia sekarang ini begitu ambisi untuk mendapatkan kekayan dengan cara membudi-dayakan riba. Tidak heran bila pada zaman sekarang, anda merasa kesulitan untuk menghindari jaring-jaring riba. Akan tetapi apakah masyarakat dunia sekarang ini dapat menikmati kekayaan mereka yang diperoleh dari praktek-praktek riba?

Berapa banyak konglomerat yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Berapa banyak orang kaya yang ditimpa penyakit komplikasi? Berapa banyak orang kaya yang didera masalah di pengadilan? Berapa banyak orang kaya yang tidak berani menikmati kekayaannya, karena takut akan berbagai penyakit dan resiko dari perbuatannya.

Tidak heran bila untuk makan di restoran saja mereka merasa tidak aman, takut kolesterol, gula dan lainnya. Sehingga bila anda perhatikan hidupnya, di rumah ia hanya bisa menikmati pakaian kolor, di ranjang yang mewah ia tidak bisa merasakan indahnya tidur nyenyak, di luar ia takut perampok, dan ketika duduk di meja makan, ia hanya bisa menikmati beberapa gram nasi putih, beberapa lembar sayur-mayur, dan ketika minum ia hanya berani minum air putih, ditambah lagi setelah makan ia harus minum segenggam obat-obatan. Menurut anda, nikmatkah kehidupan semacam ini?

Inilah sebagian dari wujud nyata dari ancaman Allah Ta'ala terhadap para pemakan riba:

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (Qs. Al Baqarah: 276)

(إِنَّ الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ، عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قَلَّ) رواه أحمد الطبراني والحاكم وحسنه الحافظ ابن حجر والألباني

"Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit." (Riwayat Imam Ahmad, At Thabrany, Al Hakim dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Ibnu Hajar dan Al Albany)

4. Harta Haram Adalah Jaring-jaring Setan

Bila menempuh jalan-jalan halal dan memakan harta halal adalah syari'at Allah, maka kebalikannya, yaitu menempuh jalan-jalan haram dan memakan harta haram adalah ajaran setan.

Setan berusaha merekrut anda untuk menjadi pengikutnya. Ia berusaha mengekang akal sehat dan iman anda tetesan air liur anda yang mengalir karena tergiur oleh manisnya harta kekayaan dan nikmatnya syahwat dunia.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

"Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu." (Qs. Al Baqarah: 178)

Renungkanlah ayat di atas dengan baik, betapa Allah menjadikan sikap mencukupkan diri dengan makanan halal nan baik sebagai lawan dari langkah-langkah setan.

Saudaraku, tahukah anda apa akibatnya bila anda telah mulai mengikuti langkah-langkah setan? Temukan jawabannya pada firman Allah Ta'ala berikut:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. An Nur: 21)

Allah Ta'ala menjelaskan bahwa orang yang telah terperangkap oleh jaring-jaring setan sehingga mengikuti jejaknya, maka sesungguhnya setan hanyalah akan menuntunnya kepada perbuatan keji dan mungkar. Bila telah demikian keadaannya, maka ia akan tercebur dalam kubangan perbuatan maksiat dan dosa.

Saudaraku! Coba anda kembali mengoreksi diri anda, mungkin selama ini anda ringan tangan untuk berbuat maksiat dan berat hati bila hendak beramal sholeh, padahal anda telah banyak mendengar nasehat,membaca ayat dan hadits, serta menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah. Walau demikian, ternyata semua itu tak juga dapat mensucikan jiwa dan amalan anda.

Mungkin saja jawaban dari keadaan yang anda hadapi ini adalah pada permasalahan ini. Mungkin saja ada dari sebagian harta kekayaan anda yang harus dibersihkan, sehingga hati andapun dapat disucikan, amalan dan ucapan andapun diridhai Allah.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

"Ucapan dan amalan tidak baik adalah pasangan bagi laki-laki tidak baik, dan laki-laki tidak baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan tidak baik (pula). Sedangkan ucapan dan amalan baik adalah pasangan bagi laki-laki baik dan laki-laki baik adalah pasangan bagi ucapan dan amalan baik (pula)." (Qs. An Nur: 26)

Kebanyakan ulama' ahli tafsir menjelaskan bahwa amalan dan ucapan buruk adalah kebiasaan dari orang-orang yang buruk pula. Sebaliknyapun demikian, amalan dan ucapan baik adalah kebiasaan dari orang-orang baik pula. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thabari19/142, Tafsir Al Qurthubi 21/211 & Tafsir Ibnu Katsir 6/34)

Saudaraku! Mungkin saja selama ini anda merasa kesusahan dalam mendidik istri dan putra-putra anda? Bila benar, maka mungkin saja sumber permasalahannya adalah nafkah yang selama ini anda berikan kepada mereka. Karenanya alangkah baiknya bila anda kembali mengoreksi asal-usul nafkah yang anda berikan kepada mereka.

5. Harta Haram Penghalang Terkabulnya Doa

Saudaraku, saya yakin anda banyak memanjatkan doa kepada Allah Ta'ala, akan tetapi, coba anda kembali mengamati doa-doa anda, berapakah perbandingan antara doa yang telah dikabulkan dari yang belum? Bila anda merasa pernah berdoa memohon sesuatu kepada Allah akan tetapi anda merasa bahwa doa anda tidak dikabulkan, maka ada baiknya bila anda mencari tahu peyebab tidak terkabulkannya doa anda.

Ketahuilah saudaraku, bahwa diantara hal yang dapat menghalangi terkabulnya doa anda adalah karena anda pernah makan, minum atau mengenakan harta haram. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَقَالَ :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ. رواه مسلم

"Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan: (Qs. Al Mukminun: 51). Dan Allah juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan seorang lelaki yang bersafar jauh, hingga penampilannya menjadi kusut dan lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: 'Ya Rab, Ya Rab,' sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan." (Riwayat Muslim)

Pada lelaki yang dikisahkan berdoa dalam hadits ini terdapat berbagai hal yang dapat mendukung terkabulkannya doa:

  1. Sedang dalam perjalanan.
  2. Mengangkat tangan ke langit.
  3. Bertawassul dengan menyebut salah satu nama Allah Ta'ala.
  4. Sedang dalam keadaan susah.

Walau demikian halnya, akan tetapi doanya tidak dikabulkan, dan sebabnya ialah rizki haram yang ia makan, minum, kenakan dan yang pernah disuapkan kepadanya semasa ia kanak-kanak.

Saudaraku, anda pasti mengimpikan untuk memiliki anak sholeh yang senantiasa berdoa untuk anda. Dengan demikian walaupun anda telah mati, pahala amal sholeh tetap mengalir kepada anda.

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم

"Bila anak Adam telah meninggal dunia, niscaya pahala amalannya akan terputus, kecuali dari tiga jenis amalan: shodaqah jariyah, ilmu yang berguna, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakannya." (Riwayat Muslim)

Akan tetapi, apa perasaan anda, andai anda mengetahui bahwa doa anak anda tidak akan pernah dikabulkan Allah? Betapa hancurnya hati anda di saat mengetahui bahwa doa-doa anak keturunan anda tidak mungkin dikabulkan Allah?

Bila anda tidak mengharapkan keadaan itu menimpa anda dan keturunan anda, maka bersikap hati-hatilah dalam urusan harta benda dan nafkah keluarga anda. Jangan sampai ada sesuap nasipun yang masuk ke dalam perut mereka yang berasalkan dari hasil haram.

6. Harta Haram Adalah Biang Kebangkrutan di Hari Kiamat

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menemui sahabatnya lalu bertanya kepada mereka: "Tahukah kalian, siapakah sebenarnya orang yang pailit?" Spontan para sahabat menjawab: "Menurut kami orang yang pailit adalah orang yang tidak lagi memiliki uang atau barang." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menimpali jawaban sahabatnya ini dengan bersabda:

إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ . رواه مسلم

"Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari kiamat datang dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat. Akan tetapi ia datang dalam keadaan telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta ini, menumpahkan darah ini. Sehingga ini diberi tebusan dari pahala amal baiknya, dan inipun diberi tebusan dari pahala amal baiknya. Selanjutnya bila pahala kebaikannya telah sirna padahal tanggungan dosanya belum lunas tertebus, maka diambilkan dari dosa kejelekan mereka, lalu dicampakkan kepadanya, dan akhirnya ia diceburkan ke dalam neraka." (Riwayat Muslim)

Pada riwayat lain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري

"Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya." (Riwayat Bukhari)

Sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu mengisahkan:

يؤخذ بيد العبد أو الأمة فينصب على رؤوس الأولين والآخرين ثم ينادي مناد هذا فلان بن فلان فمن كان له حق ليأت إلى حقه، فتفرح المرأة أن يدور لها الحق على ابنها وأخيها أو على أبيها أو على زوجها ثم قرأ ابن مسعود: فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ. المؤمنون 101 . فيقول الرب تعالى للعبد: ائت هؤلاء حقوقهم، فيقول: يا رب فنيت الدنيا فمن أين أوتيهم، فيقول للملائكة: خذوا من أعماله الصالحة فأعطوا لكل إنسان بقدر طلبته، فإن كان ولياً لله فضلت من حسناته مثقال حبة من خردل من خير ضاعفها حتى يدخله بها الجنة، ثم يقرأ: إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا النساء 40 . وإن كان عبداً شقياً، قالت الملائكة، يا رب فنيت حسناته وبقي طالبون، فيقول للملائكة: خذوا من أعمالهم السيئة فأضيفوا إلى سيئاته وصكوا له صكاً إلى النار .

"Kelak pada hari kiamat, setiap hamba akan dihadapkan kepada seluruh makhluk, lalu seorang penyeru berkata: 'Ini adalah fulan bin fulan, maka barang siapa yang memiliki hak atasnya, hendaknya segera datang.' Pada saat itu seorang wanita merasa girang bila menyadari bahwa ia memiliki hak atas anaknya, atau saudaranya, atau ayahnya atau suaminya. Selanjutnya Abdullah bin Mas'ud berdalil dengan menyebutkan firman Allah Ta'ala:

فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءلُونَ

"Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertegur sapa." (Qs. Al Mukminun: 101). Selanjutnya Allah berfirman kepada hamba itu: 'Tunaikan hak-hak mereka!' Hamba itupun menjawab: 'Wahai Tuhanku, kehidupan dunia telah sirna, darimanakah aku dapat menunaikan hak-hak mereka?' Maka Allah berfirman kepada para Malaikat: 'Ambillah dari pahala amalan shalehnya, lalu berikan kepada setiap penuntut haknya sebesar tuntutannya.' Bila ia adalah seorang wali Allah (banyak beramal shaleh) maka akan tersisa sedikit -sebesar biji sawi- dari pahala amal kebaikannya. Dan pahala yang tersisa itu akan Allah liupat gandakan hingga ia dengan pahala itu dimasukkan ke dalam surga. Lalu Abdullah bin Mas'ud berdalil dengan membaca firman Allah Ta'ala:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا .

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (Qs. An Nisa': 40). Adapun bila ia adalah seorang hamba yang sengsara (jelek amalannya) maka Malaikat akan berkata: 'Ya Allah! Pahala amal shalehnya telah sirna, sedangkan orang-orang yang menuntut haknya masih tersisa?' Maka Allah-pun berfirman kepada pra Malaikat: 'Ambillah dari dosa amal buruk mereka, lalu tambahkanlah kepada dosa amal buruknya, dan segera campakkanlah ia ke dalam neraka.'" (Riwayat Ibnu Jarir At Thabari 8/363, Al Ahwal oleh Ibnu Abid Dunya 250, dan Hilyatul Auliya' oleh Abu Nu'aim Al Ashfahaani 4/202)

Saudaraku! Relakah anda bila semua jerih payah anda beribadah kepada Allah Ta'ala, sholat, zakat, puasa haji dan lainnya akan sirna begitu saja karena dijadikan tebusan atas harta orang lain yang anda ambil dengan cara yang tidak benar? Senangkah anda bila anda yang bersusah payah beramal, sedangkan orang lain yang menikmati pahalanya?

Sekali lagi renungkan! Sudikah anda bila orang lain yang berzina, mencuri, merampas harta orang lain, dan berbuat maksiat lainnya, akan tetapi pada akhirnya anda yang menanggung dosanya?

Penutup

Sebagai penutup pertemuan kita kali ini, alangkah baiknya bila anda mengetahui jenis-jenis harta haram. Dengan mengetahui macam-macam harta haram, anda dapat menentukan sikap dengan baik dan benar.

Para ulama' telah membagi harta haram menjadi dua bagian:

A. Harta haram karena barangnya.

Contoh nyata dari barang haram jenis ini ialah babi, khamer, kucing, anjing, bangkai binatang buas yang bertaring, burung yang berkuku tajam nan kuat, dan lainnya.

Bila harta haram yang anda miliki adalah jenis ini, maka agar anda terbebas dari dosanya dan taubat anda sempurna ialah dengan cara memusnahkannya atau membuangnya. Tidak dibenarkan bagi anda untuk menjualnya, walaupun dahulu untuk memperolehnya anda membelinya dengan harga mahal. Karena bila suatu barang telah diharamkan, maka haram pula hasil penjualannya:

إنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئاً حَرَّمَ ثَمَنَهُ

"Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya." (Riwayat Imam Ahmad, Al Bukhary dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrany, dan Al Baihaqy dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma'ad 5/746)

Dan tentang Khamer, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

"Sesungguhnya Dzat Yang telah mengharamkan untuk meminumnya –yaitu khamer- telah mengharamkan pula penjualannya." (Riwayat Muslim)

Pada suatu hari Abu Thalhah bertanya kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tentang harta warisan anak yatim yang berupa khamer, beliau menjawab:

أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ؟ قَالَ: لاَ. رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني

"Tumpahkanlah (buanglah)" Abu Thalhah kembali bertanya: 'Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi cuka?' Beliau menjawab: 'Tidak.'" (Riwayat Abu Daawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albany)

Saudaraku! bila demikian petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menyikapi khamer warisan anak yatim, maka selain mereka tentu lebih layak lagi untuk melakukan sikap yang sama.

Dapat disimpulkan, bahwa berhadapan dengan harta haram jenis pertama ini tidak ada cara bagi anda untuk terbebas dari dosanya selain dengan membuang atau memusnahkannya.

B. Harta haram karena cara memperolehnya.

Bila anda mengambil harta atau hak milik saudara anda tanpa izin darinya alias dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, maka harta dan hak itupun haram untuk anda gunakan. Misalnya dari harta haram jenis ini ialah harta hasil riba, atau harta hasil curian, penipuan, dan yang serupa

Dan untuk melepaskan diri dari dosa harta haram ini, anda memiliki dua pilihan solusi:

Solusi Pertama: Mengembalikan kepada pemiliknya.

Simaklah firman Allah Ta'ala tentang solusi melepaskan diri dari riba yang terlanjur anda sepakati dengan saudara anda:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Qs. Al Baqarah: 280)

Dan tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di padang Arafah, beliau bersabda:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ. رواه مسلم

"Riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua." (Riwayat Imam Muslim)

Dan pada harta saudara anda yang anda ambil tanpa seizinnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني

"Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya, -pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya." (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Bila barang yang anda ambil terlanjur rusak atau berubah wujud, sedangkan tidak didapatkan gantinya, maka anda dapat menebus harganya.

Solusi Kedua: Meminta maaf kepada pemiliknya.

Bila solusi pertama karena suatu hal tidak dapat anda lakukan , maka anda memiliki soslusi kedua, yaitu meminta maaf kepada pemiliknya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ ، فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. رواه البخاري

"Barang siapa yang pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, hendaknya segera ia meminta saudaranya agar memaafkannya sekarang juga, karena kelak (di hari kiamat) tidak ada lagi uang dinar atau dirham (harta benda), dan sebelum sebagian dari pahala kebaikannya diambil guna menebus apa yang pernah ia lakukan terhadap saudaranya. Dan bila ia telah tidak lagi memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa saudaranya lalu dicampakkan kepadanya." (Riwayat Bukhari)

Demikianlah dua solusi yang dapat anda tempuh guna melepaskan diri dari dosa harta haram.

Semoga apa yang telah dipaparkan di atas berguna bagi kita, bila anda mendapatkan kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta'ala, dan bila terdapat kesalahan atau kekurangan, maka itu datangnya dari kejahilan diri saya dan bisikan setan. Wallahu a'alam bisshawab.

اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu."

...

bagian pertama artikel ini dapat dibaca pada link: Pengaruh Rizki yang Halal dan Haram (bag. 1)

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Sabtu, 20 Maret 2010

ciRi2 asUransi SYAriaH--

Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, di antaranya adalah :
  • Akad asuransi syariah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
  • Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
  • Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
  • Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
  • Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

uANG, UanG oh UAnG---

UANG
Definisi Uang ;
  1. Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang resmi dalam rangka memenuhi suatu kewajiban (nuqud). Abu ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya. Sementarta itu, secara hukum (positif), uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar.
  2. Uangialah semua jenis uang kertas dan uang logam yang berlaku di tempat pengumpulan zakat atau pun di negeri lain.
  3. Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang resmi dalam rangka memenuhi suatu kewajiban; secara umum, mempunyai tiga tujuan yang berbeda bergantung pada penggunaannya, yaitu sebagai alat tukar untuk pembayaran di antara konsumen, badan usaha dan pemenintah, sebagai satuan dasar untuk menilai daya beli atau nilai yang dibayarkan untuk memperoleh barang dan jasa, dan sebagai alat penyimpanan nilai untuk mengukur nilai ekonomis pendapatan pada masa sekarang terhadap pengeluaran pada masa yang akan datang; bentuk lain dan uang adalah komoditas uang (emas dan perak batangan dan uang logam, brightly coloured & shells, dan lain-lain), barter, perdagangan barang dan jasa tanpa pertukaran uang (monetary exchange) dewasa ini uang kertas hanya menampilkan sebagian kecil dari cadangan uang suatu negara, kira-kirna 3/4 dari penawaran uang dilakukan dalam bentuk debit dan kredit saldo rekening giro di bank umum (uang giral) (money).
aDapun fuNgsi uaNG itu seNdiri adaLah :
Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah:
1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran.
2. Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang. Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam ekonomi konvensional, antara lain: 1. Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut. 2. Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga tujuan yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-jaga) dan Speculative motive. Motof transaksi dan berjagajaga ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku bunga. 3. Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep ini adalah: presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.

Dalam ekonomi Islam, fungsi uang yang diakui hanya sebagai alat tukar medium of exchange dan kesatuan hitung (unit of account). Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan/manfaat, akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Uang menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa menjadi komoditi/barang yang dapat diperdagangkan. Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan, "al kanzu" sebagaimana telah disebutkan dalam QS: At Taubah 34-35 berikut: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. “Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." Di samping itu, uang uang disimpan yang tidak dimanfatkan disektor produktif (idle asset) jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat menganjurkan bisnis/perdagangan, investasi disektor riil. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Teori konvensional meyakini bahwa uang saat ini lebih bernilai dibanding uang di masa depan (Economic value of time vs time value of money). Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa uang sesuatu yang sangat berharga dan dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Dengan memegang uang orang dihadapkan pada risiko berkurangnya nilai uang akibat inflasi. Sedangkan jika menyimpan uang dalam bentuk surat berharga, pemilik uang akan mendapatkan bunga yang diperkirakan diatas inflasi yang terjadi. Teori time value of money tampak tidak akurat, karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan mendapat hasil positif, negatif bahkan tidak mendapat apa-apa. Dalam teori keuangan hal ini dikenal dengan istilah risk-return relation. Di samping itu, kondisi ekonomi tidak selalu menghadapi masalah inflasi. Keberadaan deflasi yang seharusnya menjadi alasan munculnya negative time value of money diabaikan oleh teori konvensional. Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting). Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam QS. Al Ashr:1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Abu Ubaid

Abu ‘Ubaid

Abu ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad ... Lihat Selengkapnyauntuk belajar tata bahasa Arab, qira’ah, tafsir, hadits, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (faqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya) dan Abu ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abu ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abu ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu. Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih. Kitab al-Amwal dari Abu ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi. Dalam bukunya tersebut Abu ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri. Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasyiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah Abu ‘Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhasibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaissance.

Abu ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari ... Lihat Selengkapnyabahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus. Awal pemikirannya dalam kitab al-‘Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitab al-‘Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadits serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abu ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abu ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis. Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadits mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya. Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abu ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok mazhab mereka. Tetapi dalam kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanîfah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramhurmudzi, bahwa Abu ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu ‘Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abu ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama.