Sabtu, 20 Maret 2010

Abu Ubaid

Abu ‘Ubaid

Abu ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad ... Lihat Selengkapnyauntuk belajar tata bahasa Arab, qira’ah, tafsir, hadits, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (faqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya) dan Abu ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abu ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abu ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu. Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih. Kitab al-Amwal dari Abu ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi. Dalam bukunya tersebut Abu ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri. Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasyiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah Abu ‘Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhasibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaissance.

Abu ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari ... Lihat Selengkapnyabahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus. Awal pemikirannya dalam kitab al-‘Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitab al-‘Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadits serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abu ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abu ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis. Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadits mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya. Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abu ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok mazhab mereka. Tetapi dalam kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanîfah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramhurmudzi, bahwa Abu ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu ‘Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abu ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar