Sabtu, 20 Maret 2010

ciRi2 asUransi SYAriaH--

Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, di antaranya adalah :
  • Akad asuransi syariah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
  • Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
  • Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
  • Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
  • Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

uANG, UanG oh UAnG---

UANG
Definisi Uang ;
  1. Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang resmi dalam rangka memenuhi suatu kewajiban (nuqud). Abu ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya. Sementarta itu, secara hukum (positif), uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar.
  2. Uangialah semua jenis uang kertas dan uang logam yang berlaku di tempat pengumpulan zakat atau pun di negeri lain.
  3. Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran yang resmi dalam rangka memenuhi suatu kewajiban; secara umum, mempunyai tiga tujuan yang berbeda bergantung pada penggunaannya, yaitu sebagai alat tukar untuk pembayaran di antara konsumen, badan usaha dan pemenintah, sebagai satuan dasar untuk menilai daya beli atau nilai yang dibayarkan untuk memperoleh barang dan jasa, dan sebagai alat penyimpanan nilai untuk mengukur nilai ekonomis pendapatan pada masa sekarang terhadap pengeluaran pada masa yang akan datang; bentuk lain dan uang adalah komoditas uang (emas dan perak batangan dan uang logam, brightly coloured & shells, dan lain-lain), barter, perdagangan barang dan jasa tanpa pertukaran uang (monetary exchange) dewasa ini uang kertas hanya menampilkan sebagian kecil dari cadangan uang suatu negara, kira-kirna 3/4 dari penawaran uang dilakukan dalam bentuk debit dan kredit saldo rekening giro di bank umum (uang giral) (money).
aDapun fuNgsi uaNG itu seNdiri adaLah :
Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah:
1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran.
2. Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang. Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam ekonomi konvensional, antara lain: 1. Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut. 2. Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga tujuan yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-jaga) dan Speculative motive. Motof transaksi dan berjagajaga ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku bunga. 3. Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep ini adalah: presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.

Dalam ekonomi Islam, fungsi uang yang diakui hanya sebagai alat tukar medium of exchange dan kesatuan hitung (unit of account). Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan/manfaat, akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Uang menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa menjadi komoditi/barang yang dapat diperdagangkan. Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan, "al kanzu" sebagaimana telah disebutkan dalam QS: At Taubah 34-35 berikut: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. “Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." Di samping itu, uang uang disimpan yang tidak dimanfatkan disektor produktif (idle asset) jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat menganjurkan bisnis/perdagangan, investasi disektor riil. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Teori konvensional meyakini bahwa uang saat ini lebih bernilai dibanding uang di masa depan (Economic value of time vs time value of money). Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa uang sesuatu yang sangat berharga dan dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Dengan memegang uang orang dihadapkan pada risiko berkurangnya nilai uang akibat inflasi. Sedangkan jika menyimpan uang dalam bentuk surat berharga, pemilik uang akan mendapatkan bunga yang diperkirakan diatas inflasi yang terjadi. Teori time value of money tampak tidak akurat, karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan mendapat hasil positif, negatif bahkan tidak mendapat apa-apa. Dalam teori keuangan hal ini dikenal dengan istilah risk-return relation. Di samping itu, kondisi ekonomi tidak selalu menghadapi masalah inflasi. Keberadaan deflasi yang seharusnya menjadi alasan munculnya negative time value of money diabaikan oleh teori konvensional. Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting). Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam QS. Al Ashr:1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Abu Ubaid

Abu ‘Ubaid

Abu ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad ... Lihat Selengkapnyauntuk belajar tata bahasa Arab, qira’ah, tafsir, hadits, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (faqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya) dan Abu ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abu ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abu ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu. Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih. Kitab al-Amwal dari Abu ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi. Dalam bukunya tersebut Abu ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri. Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasyiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah Abu ‘Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhasibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaissance.

Abu ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari ... Lihat Selengkapnyabahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus. Awal pemikirannya dalam kitab al-‘Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitab al-‘Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadits serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abu ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abu ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis. Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadits mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya. Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abu ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok mazhab mereka. Tetapi dalam kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanîfah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramhurmudzi, bahwa Abu ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu ‘Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abu ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama.