Rabu, 27 Juli 2011

Antara Adam Smith, Esensi kebaikan dan keburukan Ilmu Ekonomi

 Adam Smith adalah tentang sebuah keping sejarah. Dan fondasi ilmu ekonomi barat  tak akan pernah ada di  tanpa sentuhan pertama Adam Smith yang memulai debut pertama nya sebagai seorang Profesor di bidang ilmu logika. Setahun berikutnya Adam Smith pada tahun 1759, Adam Smith menulis buku pertama nya yang dikemudian hari tenggelam oleh hiruk-pikuk perdebatan pasar bebas. Bahkan ada seorang kolumnis menulis di majalah Time, saat Amerika Serikat dilanda resesi yang akut, agaknya apa yang dipaparkan oleh Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiment terlewatkan dan dilupakan oleh banyak ekonom serta analis berhaluan The Washington Consensus.
Saya sepakat dengan sang kolumnis tadi. Nama besar Adam Smith pun tak luput dari penghujatan akan bobroknya ilmu ekonomi yang hanya mencari kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tanpa mengindahkan kebahagiaan personal dan sekelilingnya. Secara tidak adil, juga ilmu ekonomi sudah menjelma another religion and doctrines yang seolah tidak boleh digugat substansi dari eksistensi nya dan menjadi pakem mainstream yang mau tidak mau harus diterima legalitasnya. Sebagaimana yang kerap dipaparkan juga oleh ekonom yang berhaluan kritis, apa yang diangkat pertama kali oleh Adam Smith banyak menyentuh persoalan tentang timbangan kebaikan dan keburukan dan mendeskripsikan manusia itu what they shall go.
Dalam tulisan awal-awalnya pada buku The Theory of Moral Sentiments, Adam Smith menguraikan perlu nya sebuah atau seperangkat alat untuk menentukan sebuah perbuatan dilakukan tergolong benar atau salah. Dalam konteks pria kelahiran Kirkaldy, Scotlandia pada tahun 1723 inii, pelaku ekonomi harus mempunyai standar etika yang akan memagari ia dari perilaku menyimpang dan perilaku nya memang bertujuan mencari kebenaran bukan pembenaran. Sebagaiman yang ia ungkapkan sebagaimana berikut
“but our judgement now are often of little importance in comparison of what they were before; and can frequently produce nothing but vain regret and unavailing repentance, without always securing  us from the like errors in time to come”.
Semakin banyak pembenaran, semakin sering pula akhirnya melakukan penipuan terhadap diri sendiri disinilah yang banyak menimpa perilaku pelaku ekonomi. Dari mulai skala nya akuntansi seperti fraud, income smoothing, skandal-skandal keuangan yang mengakibatkan gejolak di lantai bursa semuanya disebabkan perilaku pelaku ekonomi yang mengedepankan pembenaran diri nya dari pada apa yang ia yakini sebuah kebenaran.
Adam Smith pun akhirnya menyadari seperangkat apa yang beliau sebut sebagai general of conduct perlu digunakan oleh pelakku ekonomi. Sayangnya apa yang digagas oleh Adam Smith masih kental dengan nuansa pemujaan terhadap relatifitas kebenaran sebab, apa yang Adam Smith sebut sebagai The General of Conduct ini baru berisi pengalaman-pengalaman manusia barat terhadap apa yang ia kecam sebagai perilaku menyimpang dengan tidak. Walaupun mengakui dengan adanya sebuah standar kebenaran untuk mengukur perilaku berdasarkan nilai-nilai normative tentang kebaikan dan keburukan, batasan kebaikan dan keburukan masih prefers dengan selera orang yang bisa jadi lebih mengedepankan hawa nafsu nya dibandingkan bahkan dengan rasio nya sekalipun. Sekalipun dengan kukuhnya pada pembahasan selanjutnya dalam buku The Theory of Moral Sentiment, namun ungkapan general conduct yang didefinisikan oleh Adam Smith tadi sangat persis definisi agama di Barat yang merupakan sistem kepercayaan, amalan,sikap, dan cita-cita yang tercipta dalam sejarah dan konfrontasi manusia dengan alam yang berevolusi dalam sejarah kemudian selalu berkembang ( Al Attas, 1978)
Berbanding terbalik pemahaman Din dalam Islam yang sebagaimana dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al Attas, terdiri dari dyn, dana, dayyan, duyyun, yang bermakna keadaan berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami.filosofinya din yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai agama kurang tepat. Karena Dyn,Dana, yang akar kata nya dari Din, memberikan gambaran sebagai seseorang dalam keadaan berhutang, seorang pengutang akan mengikuti syarat yang diberikan yang memberikan hutangan, maka seorang hamba Allah telah berhutang dengan pelbagai nikmat yang diberikan oleh Allah dan  untuk membayarnya, hanya diperlukan ketaatan dalam menjalankan perintahNya agar dimasukan sebagai Al Muttaqin. Atau orang-orang yang bertakwa. Dan balasan bagi mereka yang bertaqwa dengan amat melimpahnya Al Qur’an menjelaskan dari mulai digelarinya Al Muttaqin sebagai golongan yang mendapatkan kemenangan hingga mendapatkan amanah untuk mengelola bumi dan isinya sebaga bentuk khalifah fil ardhi.
Nah, bicara mengenai pahala dan balasan,  Adam Smith sendiri memperbandingkan tentang ganjaran akan perilaku kebaikan dalam hal bisnis dan perdagangan dengan perilaku kebaikan dalam hal kebenaran dan keadilan
“what is reward most proper for encouraging industry,prudence, and circumspections ? success in every sort of business. And is it possible that in the whole  of life these virtues should fail of attaining it. What is reward is most proper for promoting the practice of truth,justice and humanity ?, The Confidence, the esteem, and love of those we live with”  
Kemudian Adam Smith melanjutkan bahwa kemanusiaan tidak diinginkan untuk membuat menjadi besar atau hebat tetapi untuk dicintai. Persoalan ganjaran atau balasan yang bersifat immaterial dalam pandangan Adam Smith bukan menjadi kaya adalah kebenaran atau adil adalah kegembiraan tapi menjadi dipercaya dan diyakini.
Imagine, kalau para fundamentalist market kembali mengenang kembali kepingan yang tercecer dari gagasan Adam Smith tentang berekonomi dengan moral. Selayaknya Ilmu Ekonomi bukan lagi diratapi oleh para ekonom  berhaluan out of mainstream  sebagai  sebuah alat untuk menyengsarakan orang banyak dengan pembenaran teknis yang dibuat-buat tetapi ilmu bagaimana kesejahteraan  dapat dicapai tanpa mengabaikan kebahagiaan.

Wallahhu A'Lam biSsoab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar