Jumat, 21 Oktober 2011

Keseimbangan Konsumen

Oleh : Fahd Noor  

1.      Keterkaitan antar Barang
a.       Komplemen
Hubungan antara barang, dimana konsumsi suatu barang menimbulkan kemungkinan konsumsi barang lain tergantung derajat keterkaitan antarbarang, yang dapat dibedakan menjadi :
ü  Komplementaritas Sempurna, dimana mengkonsumsi suatu barang harus diikuti dengan barang komplementernya. Contoh : Printer dan kertas, dll.
ü  Kemplementaritas Dekat, dimana mengkonsumsi suatu barang menimbulkan kemungkinan yang besar konsumsi komplementernya. Contoh : Teh / kopi dengan gula, dll.
ü  Komplementaritas Jauh, dimana tingkat hubungan antarbarang lebih rendah derajatnya dibanding kedua tipe diatas. Contoh : Baju dan Dasi, parfum, dll
b.      Substitusi
Hubungan antara barang dimana pola konsumsinya dapat saling mengganti diantara barang-barang tersebut tergantung derajat hubungannya yang dibagi menjadi :
ü  Substitusi sempurna
ü  Substitusi dekat
ü  Substitusi jauh.
c.       Domain Konsumsi
Dari kedua jenis hubungan antarbarang diatas, komplemen & substtitusi, maka hubungan substitutif yang akan menimbulkan masalah pilihan yang harus dilakukan oleh konsumen.
2.      Hubungan Antarbarang yang dilarang oleh Islam
ü  Islam melarang adanya penggantian (substitusi) dari barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi yang haram.
ü  Islam melarang mencampuradukan antara barang atau transaksi yang halal degan barang atau transaksi yang haram.

3.      Hubungan Antarbarang dalam Islam
ü  Dalam pola konsumsi Islam, maka hubungan antarbarang hanya boleh dilakukan antara barang yang sama-sama halal, baik yang bersifat komplementer maupun substitutif.

4.      Permintaan Konsumen
Dalam membandingkan antar dua barang substitusi, maka konsumen Mukmin dalam memilih barang yang dikonsumsinya akan mempertimbangkan jumlah mashlahah total yang akan diperoleh paling tinggi. Secara intuitif dapat disimpulkan bahwa jika terdapat peningkatan mashlahah pada suatu barang/jasa, maka permintaan akan barang tersebut akan meningkat, dengan menganggap faktor lainnya tidak berubah. Jika mashlahah atas konsumsi diuraikan menjadi manfaat dan berkah, maka adanya perubahan manfaat dan berkah pada suatu barang bisa dikatakan sebagai penyeimbang atas perubahan harga. 

Hukum Utilitas dan Mashlahah


Oleh Fahd Noor

          1.  Hukum Penurunan Utilitas Marginal
Dalam konsep ilmu ekonomi konvensional dikenal hukum penurunan marginal utilitas (law of diminishing marginal utility).
Hukum  Marginal Utilitas : “Hukum ini mengatakan bahwa jika seseorang mengkonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang berulang-ulang, maka nilai tambahan kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun”.
2.      Hukum Mengenai Mashlahah
Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya berlaku pada mashlahah. Maslahah dalam konsumsi tidak seluruhnya secara langsung dapat dirasakan, terutama mashlahah akhirat atau berkah. Adapun maslahah dunia manfaatnya sudah dapat dirasakan setelah konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatkanya frekuensi kegiatan, maka tidak akan ada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah tidak pernah menurun. Sedangkan mashlahah dunia akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia adalah terbatas sehingga ketika konsumsi dilakukan berlebih-lebihan, maka akan terjadi penurunan mashlahah duniawi. Dengan demikian, kehadiran mashlahah akan memberi warna dari kegiatan yang dilakukan oleh konsumen mukmin.
a.       Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah
Berkah yang diperoleh dari ibadah mahdhah, nilai pahala tetap/tidak akan berkurang dengan semakin tingginya frekuensi melakukan ibadah, sehingga mashlahah totalnya akan meningkat.
b.      Mashlahah Marginal dari Konsumsi
Mashlahah marginal dari konsumsi besarnya tergantung kepada jenis konsumsi yang dilakukan, jika dilakukan dengan niat ibadah maka akan mendapatkan manfaat dan berkah sekaligus, tetapi bila tidak hanya akan mendapatkan manfaat saja dan karena adanya berkah maka mashlahah marginal dari konsumsi dengan niat ibadah akan terus meningkat.
            3. Preferensi terhadap Mashlahah
Besarnya mashlahah yang didapat oleh konsumen dipengaruhi oleh tingkat preferensi (preference level) dan tingkat perhatian konsumen (awareness level) kepada mashlahah. Semakin tinggi preferensi dan perhatian konsumen maka semakin besar mashlahah yang akan diperoleh.
            4. Hukum Penguatan Kegiatan dari Mashlahah
           Dari kajian preferensi terhadap mashlahah diperoleh bahwa :
Ø  Keberadaan berkah akan memperpanjang rentang dari suatu kegiatan konsumsi.
Ø  Konsumen yang merasakan adanya mashlahah dan menyukainya akan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat dari kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada. 

Wallahu A'lam bi ssowab

Karakteristik Manfaat dan Berkah dalam Konsumsi


Karakteristik Manfaat dan Berkah dalam Konsumsi
Oleh : Fahd Noor

Kepuasan akan diperoleh jika ia berhasil memenuhi keinginannya dan keinginan ini bisa berwujud kebutuhan ataupun kebutuhan semu. Kebutuhan semu ini muncul karena ketidaktahuan manusia tentang kebutuhan hidup manusia yang sesungguhnya. Dan maslahah dalam konsumen muncul ketika kebutuhan riill sudah terpenuhi, yang belum tentu dapat dirasakan sesaat setelah malakukan konsumsi.
Mashlahah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat berbentuk satu diantara hal berikut / Manfaat konsumsi dapat berupa:
Ø  Manfaat material, berupa ukuran harta yang didapat.
Ø  Manfaat fisik dan psikis, berupa pemenuhan kebutuhan (fisik & mental/psikis).
Ø  Manfaat intelektual, berupa pemenuhan kebutuhan intelektual.
Ø  Manfaat terhadap lingkungan (intra generation), berupa eksternalitas positif yang dinikmati pada masa yang sama.
Ø  Manfaat jangka panjang, berupa manfaat yang akan dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Sementara berkah akan diperoleh bila :
Ø  Konsumsi barang halal / tidak haram, dari sisi zatnya maupun proses mendapatkannya.
Ø  Tidak berlebih-lebihan dalam jumlah konsumsi.
Ø  Diniatkan untuk mendapat ridha Allah SWT.

Kebutuhan dan Keinginan dalam Islam


Islam membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalam kegiatan konsumsi, kebutuhan diartikan sebagai segala sesuatu yang diperlukan agar manusia dapat berfungsi secara sempurna.  Secara umum pemenuhan kebutuhan akan menghasilkan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material. Sedangkan keinginan diartikan sebagai sesuatu yang berasal dari hasrat (nafsu) atau harapan  manusia dan pemenuhan keinginan akan menghasilkan kepuasan. Dalam prinsip konsumsi islam mashlahah dan kepuasan akan diperoleh apabila pemenuhan keinginan dilakukan berdasarkan kebutuhan (secara simultan), apabila konsumsi hanya berdasarkan keinginan maka hanya akan memberikan kepuasan saja dan sebaliknya bila hanya karena kebutuhan maka hanya akan mendapatkan manfaat saja.

Karakteristik Kebutuhan dan Keinginan
KARAKTERISTIK
KEINGINAN
KEBUTUHAN
SUMBER
Hasrat / nafsu manusia
Fitrah manusia
HASIL
Kebuasan
Manfaat dan berkah
UKURAN
Preferensi atau selera
Fungsi
SIFAT
Subjektif
Objektif
TUNTUNAN ISLAM
Dibatasi / dikendalikan
Dipenuhi
 Ajaran Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, maka martabat manusia bisa meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang atau jasa yang halal dan baik saja secara wajar dan tidak berlebih – lebihan. Dan pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan tetap diperbolehkan selama hal itu mampu menambah maslahah dan tidak mendatangkan mudharat.

Konsumsi Konven vs Islam


Kebutuhan seseorang dalam memilih alokasi sumberdaya akan melahirkan fungsi permintaan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Dan jika menggunakan teori konvensional, konsumen diasumsikan selalu menginginkan tingkat kepuasan yang tertinggi. Konsumen akan memilih mengonsumsi barang A atau B tergantung pada tingkat kepuasan yang diberikan oleh kedua barang tersebut.
Dalam ajaran Islam konsumsi yang islami selalu berpedoman pada ajaran islam, diantarannya perlu memperhatikan keadaan orang lain. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan konsumsi itu sendiri, dimana seorang muslim akan lebih mempertimbankan  maslahah daripada utilitas. Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat islam itu sendiri (maqasid syariah), yang tentu saja harus menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi.
ASPEK KEGIATAN KONSUMSI
Konvensional
Islam
·         Tingkat kepuasan
·         Batasan Anggaran
·         Maslahah

Mashlahah sendiri diartikan sebagai segala bentuk keadaan baik material (lahiriah, jasmaniah) maupun non material (bathiniah, ruhaniyah) yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.

Rabu, 19 Oktober 2011

Sejarah Singkat Dinar and Dirham



Pada masa awalnya Muslimin menggunakan emas dan perak berdasarkan beratnya dan Dinar Dirham yang digunakan merupakan cetakan dari bangsa Persia.

Koin awal yang digunakan oleh Muslimin merupakan duplikat dari Dirham perak Yezdigird III dari Sassania, yang dicetak dibawah otoritas Khalifah Uthman, radiy’allahu anhu. Yang membedakan dengan koin aslinya adalah adanya tulisan Arab yang berlafazkan “Bismillah”. Sejak saat itu tulisan “Bismillah” dan bagian dari Al Qur’an menjadi suatu hal yang lazim ditemukan pada koin yang dicetak oleh Muslimin.

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa standar dari koin yang ditentukan oleh Khalif Umar ibn ak-Khattab, berat dari 10 Dirham adalah sama dengan 7 Dinar (1 mithqal). Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar ibn Khattab. Khalif Abdalmalik memerintahkan bahwa pada tiap koin yang dicetak terdapat tulisan: “Allahu ahad, Allahu samad”. Beliau juga memerintahkan penghentian cetakan dengan gambar wujud manusia dan binatang dari koin dan menggantinya dengan huruf-huruf.

Perintah ini diteruskan sepanjang sejarah Islam. Dinar dan Dirham biasanya berbentuk bundar, dan tulisan yang dicetak diatasnya memiliki tata letak yang melingkar. Lazimnya di satu sisi terdapat kalimat “tahlil” dan “tahmid”, yaitu, “La ilaha ill’Allah” dan “Alhamdulillah” sedangkan pada sisi lainnya terdapat nama Amir dan tanggal pencetakkan; dan pada masa masa selanjutnya menjadi suatu kelaziman juga untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah, salallahu alayhi wa salam, dan terkadang, ayat-ayat Qur’an.

Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhalifahan. Sejak saat itu, lusinan mata uang dari beberapa negara dicetak di setiap negara era paska kolonialisme dimana negara negara tersebut merupakan pecahan dari Dar al Islam.

Sejarah telah membuktikan berulang kali bahwa uang kertas telah menjadi alat penghancur dan menjadi alat untuk melenyapkan kekayaan uamt Muslim. Perlu diingat bahwa Hukum Syariah Islam tidak pernah mengizinkan penggunaan surat janji pembayaran menjadi alat tukar yang sah.



wallahu A'lam bissowab

Minggu, 16 Oktober 2011

Islamic Capital Market



Kuliah yang cukup menarik untuk disimak, apalagi kalau bukan mengenai Islamic capital market. Kuliah yang cukup tegang itu dipandu bapak Irwan Abdalloh, seorang pakar keuangan islam. Menurutnya ICM di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang cukup oleh pemerintah, bisa dikatakan bahwa regulasi yang telah diterbitkan terbilang telah terlambat bila dibandingkan dengan Negara Negara lainnya, sebut saja tetangga kita Malaysia yang sedari tahun 1990-an telah menggodok UU Islamic Capital Market. Pemahaman yang salah mengenai ICM menggiring pola fikir masyarakat pada suatu keputusan yang saya kira cukup strict bahwa ICM itu haram, baik untuk dikembangkan, di follow-up dan lain sebagainya. Irwan Abdalloh mengatakan bahwa tidak sedikit daripada para pakar ekonomi islam, anggota DSN yang mengatakan bahwa ICM itu haram, baik dari segi transaksi maupun akad yang dijalankan. Sekali lagi, mungkin masih banyak diantara kita juga masih berfikiran bahwa ICM merupakan produk ijma yang gagal.
Sedikit penulis singgung mengenai perkembangan atau penulis istilahkan sebagai the historical of ICM . sebagai akar pertumbuhan ICM adalah Islamic Banking, ya setelah berlangsungnya konsorsium yang dilakukan oleh para pakar syariah dibentuklah Islamic Development Bank  sekitar tahun 1930-an. IDB didirikan dengan maksud untuk menginisiasi tumbuhnya korporasi perbankan islam, khususnya untuk daerah dan kawasan muslim. Mit Gamr, sebuah bank mini islam yang pertama telah menunjukan pada dunia bahwa sebuah institusi keuangan islam sangat bermanfaat bagi invesatasi dan aktivitas perekonomian. Mit Gamr yang berdiri sekitar tahun 1940-an di Mesir, diawali oleh keinginan seorang investor muslim untuk mendanai sebuah infrastruktur layanan public di mesir namun enggan untuk berinvestasi di lembaga yang menggunakan system bunga. Maka gayung pun bersambut, seorang ahli perbankan perancis menginisiasi perbankan syariah disana. Mit Gamr telah menstimulan Negara Negara lainnya untuk mendirikan korporasi keuangan syariah., sebut saja Negara Negara muslim di timur tengah. Irwan Abdalloh sempat menunjukan sebuah data yang cukup mencengangkan penulis, sebuah peta penyebaran aliran dana berlimpah dari satu area yang disebut Timteng. Ya, Negara Negara petrodollar memang kaya akan minyak, do’a nabi Ibrahim benar benar Allah kabulkan untuk wilayah ini menjadi kawasan yang berkah akan potensi alam. Irwan mengatakan bahwa triliunan dolar berada disana dan idle. Maka sangat sayang, bila dana tersebut tidak diserap untuk proyek proyek usaha maupun pembangunan. Gayung pun bersambut, Negara-negara eropa, amerika, dan Negara Negara asia berlomba lomba membuka index dan lembaga keuangan syariah, dengan harapan aliran dana timur tengah tersebut mengalir ke kantong mereka. Penulis fikir, mereka sudah melihat pangsa pasar yang jelas, tanpa melihat sudut pandang agama. Ya, walaupun ada yang mengatakan bahwa keberadaan platform syariah tersebut merupakan suatu bentuk usaha penyempitan ruang publik. Mari kita lihat sekali lagi dari sudut bisnis dan pengembangan usaha, tanggalkan seluruh bentuk kompleksivitas keagamaan, syariah hanyalah penamaan saja, silahkan bila anda ingin merubah namanya sesuka anda. Syariah pada prisnsipnya hampir sama dengan konvensional, namun ada hal yang lebih prinsipil lagi yaitu system keadilan dan kemanahan. Penulis cukupkan pembahasan mengenai platform sampai sini dulu, insyaAllah penulis kupas pada sesi yang lebih khusus.
Kembali pada perkembangan sektor syariah. Berdirinya lembaga keuangan syariah di berbagai Negara sebenarnya sangat membanggakan, namun ada resiko yang mungkin terjadi pada bank syariah sekalipun, yaitu resiko liquiditas. Maka berdirilah asuransi syariah sebagai pada tahun 1980-an sebagai bentuk proteksi terhadap aliran dana yang mengalir. Awalnya produk yang disajikan hanyalah untuk memitigasi segala bentuk kepailitan dalam banking capital namun ternyata seiring berjalannya waktu, inovasi produk mulai berkembang, sehingga tidak saja ddirikan untuk capital namun juga untuk proteksi jiwa, kendaraan dan lainnya. Islamic banking yang telah banyak menjamur, kemudian didukung dengan Islamic insurance yang dilandasi atas azas at-ta’awun, berdirilah Islamic capital market pada tahun 1990-an sebagai bentuk permintaan dari market. Satu alasan yang sangat logis didirikannya ICM, tahukah anda? Jawabannya adalahover liquidity. Bisa anda bayangkan andaikan triliunan dolar dari timur tengah mengalir deras ke kantor kita. Over liquidity ini terjadi di timur tengah, maka jangan kaget bila saham Manchester city dipegang oleh seorang pengusaha dubai. Pembangunan tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya modal dan keahlian. Sekarang mari kita berkaca, mengaca setiap rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selalu tidak pernah maksimal, tentu salah satu factor utamanya adalah low liquidity. Inisiasi pengembangan usaha lembaga keungan syariah di Indonesia masih belum optimal, bisnis dibawa kedalam ranah politik dewan yang tak pernah selesai. Perbankan syariah pertama Bank Muammalat yang berdiri tahun 1991 merupakan tonggak sejarah perbankan syariah Indonesia, namun UU perbankan syariah baru selesai dibahas pada tahun 2008 silam. Kemudian sukuk 2010 kemarin

Selasa, 04 Oktober 2011

SEKILAS PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


SEKILAS PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu  pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III  tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Senin, 03 Oktober 2011

beLaJAR daRi TAnaH SuCi-


 "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir". Q.S. al-Hajj/22: 27-28.


Hari-hari ini kita dapat menyaksikan keberangkatan Jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci. Sejak mulai diberangkatkan pada Ahad 02 Oktober 2011, mereka terus berduyun-duyun memadati al-Haramain (Dua Tanah Suci Makkah dan Madinah), bersama jutaan jamaah haji dari seluruh dunia. Gemuruh lafadh Talbiyah dikumandangkan sejak dari Tanah Air hingga Tanah Suci. Mereka datang memenuhi panggilan Allah Swt, berserah diri di pangkuan Dzat Yang Maha Besar.

Jumlah Jama’ah haji Indonesia, selalu menduduki urutan pertama dibanding dengan jumlah jamaah haji dari negara-negara lain. Sejumlah 221.000 orang jamaah (terdiri dari 201.000 orang reguler dan 20.000 jamaah khusus) sedang dalam proses pemberangkatan melalui 11 bandara keberangkatan (embarkasi). Kafilah haji akan terus berdatangan sampai beberapa hari menjelang dimulainya wukuf di Arafah, 09 Dzulhijjah. Kafilah haji Al-Azhar pada tahun inii terdiri dari dua kelompok, kelompok haji khusus dan kelompok haji reguler. Kelompok haji khusus dengan jumlah 62 calon haji akan berangkat tanggal 21 Oktober 2011, sedangkan kelompok reguler dengan jumlah 95 calon haji akan berangkat pada tanggal 30 Oktober 2011. Semua menuju ke Tanah Suci. Semua memulai ritualnya dalam keadaan suci; badan yang suci, pakaian suci, makanan yang suci, ongkos naik haji yang suci, bekal yang suci, bahkan sebagai simbol kesucian itu, Al-Azhar memberangkatkan calon jama’ah hajinya dari Masjid Agung Al-Azhar yang suci dengan harapan dapat tiba di Tanah Suci dalam kondisi tetap suci dan kembali setelah haji dengan menyandang gelar mabrur yang suci pula.

Ibadah haji merupakan ibadah yang terpadu di dalamnya taklufah mâliyyah (pengorbanan harta), ibâdah jasadiyyah (pengabdian fisik), dan ibâdah rûhiyyah (pengabdian spiritual) kepada Allah. Pengorbanan harta, karena orang yang berangkat haji harus mengeluarkan biaya perjalanan, akomodasi dan lain-lain dalam jumlah besar. Pengabdian fisik, karena selama menjalankan ibadah haji, seorang dihadapkan pada udara yang ekstrim, dingin sekali atau panas sekali di Tanah Haram. Kerumunan manusia yang sangat banyak menyebabkan sering terjadi antrian panjang, berjejal-jejal, dan menyesakkan. Maka diperlukan fisik yang sehat dan kuat sehingga mampu melaksanakan serangkaian ritual haji. Pengabdian spiritual, karena setiap muslim yang melaksanakan haji harus memulai ibadahnya dengan tulus ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Selama di Tanah Suci dia harus mempertebal olah batin dengan zikir, istighfar, tahlil, tahmid, takbir, serta membersihkan hati sebersih-bersihnya. Rangkaian ibadah haji mencerminkan miniatur rangkaian hidup kita yang menyatu di dalamnya aspek material dan spiritual, lahir dan batin. Banyak pelajaran yang sangat berharga dalam perjalanan ke Tanah Suci.


Risalah Tauhid
Ritual haji merupakan praktik ibadah yang tidak dapat lepas dari sejarah Nabi Ibrahim a.s.. Hampir semua rukun dan wajib haji yang dilakukan jama’ah haji berkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim, bersama keluarganya. Ibadah Sa'i mengikuti jejak pengalaman Siti Hajar, Istri Ibrahim, yang mencari air untuk putra tercintanya, Ismail (Q.S. al-Baqarah/2: 158). Ibadah lempar jumrah mengikuti pengalaman Ibrahim ketika diganggu setan dalam melaksanakan perintah Allah. Menyembelih binatang kurban mengikuti pengalaman Ibrahim yang diperintahkan untuk berkurban (Q.S. al-shafât/37: 107).
Ibrahim a.s. dikenal sebagai Bapak para nabi, dan Bapak monotheisme, serta “proklamator keadilan Ilahi”. Semua agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam merujuk kepada beliau. Tentang kebesaran sosok Ibrahim a.s., Abbas Muhammad Aqqad menulis:
“Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan. Penemuan Ibrahim tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ...”
Itulah penemuan tentang hakekat Tuhan. Dia adalah Tuhan Yang Esa sang Pencipta sekaligus Pemelihara alam semesta serta isinya. Kepastian yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu. Sebab segala kepastian itu menjadi sirna dan hancur bila ada penemuan yang mengatakan alam ini diatur oleh banyak tuhan. 
Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, dan lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seluruh jagat raya, Tuhan yang immanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.
Ajaran Ibrahim as. atau “penemuan” beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.
Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya. "Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Q.S. Ali Imrân/3: 26.
Maka semua jama'ah haji ketika melaksanakan ibadah haji, meneguhkan kembali tentang prinsip-prinsip tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim yang meliputi:  1). Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah. 2). Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3) Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.. Dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49 13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
Haji dan Pengurbanan
Ritual haji sangat sarat dengan nilai pengurbanan. Ia juga menegaskan tentang cara-cara pengurbanan yang benar. Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun --bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktik pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan semakin besar kemungkinan cita-cita itu dapat diraih. Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah, mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih cita-cita meneguhkan kalimah tauhid, meneguhkan al-dîn al-hanîf (agama yang lurus), dan mensejahterakan manusia lahir dan batin, sebagaimana tersebut dalam doanya: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (Q.S. Ibrâhîm/14: 35). Doanya pula:  "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. al-Baqarah/2: 126). Doa-doanya itu dikabulkan Allah karena tidak sekedar diucapkan melalui kata-kata, tapi didahului dengan besarnya pengurbanan yang dilakukan.

Hakekat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan. Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat taqwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban. Firman Allah: “Daging-daging (binatang korban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (Q.S. al-Hajj/22: 37). Pengorbanan yang besar sekalipun akan menjadi sia-sia, tidak berguna dan tidak diterima apabila tujuannya bukan karena cinta dan kesetiaan kepada Allah, tapi hanya ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi seperti, sanjungan dan pujian dari orang lain.

Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama. memilih binatang sembelihan yang terbaik, unta yang sehat dan gemuk misalnya, meskipun sapi, kambing juga dibolehkan. Kedua, memulai menyembelih dengan memperbanyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang disembelih. Hadits Rasulullah Saw.: ”Jika kamu hendak menyembelih, maka perbaikilah cara menyembelihmu”. Ketiga, daging yang disembelih itu dibagi-bagi tidak dimakan sendiri. Allah berfirman: ”dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Q.S. al-Hajj/22: 36

Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti: kambing, sapi, kerbau, atau unta, maka kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha saja. Ummat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengorbankan apa saja yang dimiliki, dalam rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah, guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas ummat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.

Haji Miniatur Kehidupan
Setiap orang yang menjalankan ibadah haji, memulai dengan memakai pakaian ihram putih bersih, bermula dari miqat menuju ke satu titik yaitu Ka'bah. Memulai dalam keadaan suci bersih dan mengakhiri dalam keadaan suci bersih. Kita memulai kehidupan ini juga dari putih bersih (fithrah) tanpa salah dan dosa dan diharapkan dapat mengakhiri kehidupan ini dengan putih bersih pula. Walau berbagai tantangan dan ujian mencoba memperdayakan, namun kita harus tetap waspada menjaga kesucian diri. Allah berfirman: "Sungguh beruntung orang yang berhasil mensucikan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". Q.S. Al-Syams/91: 9-10 
Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makani, di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. “Di Miqat ini apa pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
 Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Ketika thawaf keliling Ka'bah, kita mulai dari jarak yang paling jauh. Sedikit demi sedikit kita berkeliling semakin dekat kepada Ka'bah. Proses yang kita lakukan selama berkeliling tidak mudah, karena yang melakukan thawaf jumlahnya sangat banyak, puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kita harus berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, bahkan ada yang melakukan thawaf di lantai dua atau tiga, karena mathâf (tempat thawaf) sangat padat. Dalam kehidupan kita sehari-hari, sejatinya kita sedang melakukan thawaf (berkeliling) menuju ke satu titik, yaitu Allah SWT. Selama berkeliling menuju Allah, berbagai rintangan dihadapi. Problema hidup silih berganti menghimpit hingga tak jarang terpental menjauh dari titik pusat. Godaan duniawi sering menjauhkan kita dari Allah, menjadi lupa diri, lantas memperturutkan hawa nafsu. Oleh karenanya, hendaknya kita melakukan thawaf (keliling) dalam kehidupan ini sejalan dengan aturan yang ditentukan oleh Sang Khaliq. Tidak menentang, melawan, atau meninggalkannya. Dilakukan secara serentak, tidak egois, untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi, tidak ada ucapan-ucapan keji, kotor, atau pertengkaran, sebagaimana yang terlukis dalam ibadah haji, falâ rafatsa wa lâ fusûqa wa lâ jidâla fi al-hajj (maka tidak ada ucapan kotor, keji, dan permusuhan selama dalam ibadah haji, Q.S. al-Baqarah/2: 197).

Maka dalam hidup ini diperlukan upaya yang terus menerus (sa'î) agar dapat menjalankan roda kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim, dalam kisahnya, berupaya (sa'î) mendapatkan air untuk anaknya, Ismail, berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah. Usaha mendapatkan air pada akhirnya tidak sia-sia, karena Allah memancarkan air yang kelak disebut dengan air Zamzam. Keyakinan yang mesti ditanamkan ke dalam hati setiap muslim adalah bahwa setiap usaha yang tulus dan sungguh-sungguh, pasti membawa hasil, langsung atau tidak langsung. "Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik". Q.S. al-Isrâ'/17: 19.

Pada saatnya kemudian, setelah berkeliling berusaha dengan susah payah dalam hidup, seorang mukmin mengetahui sejatinya hidup (Arafah), darimana dia hidup, untuk apa dia hidup, dan kemana ia kembali. Sebagaimana perenungan yang dilakukan setiap haji yang sedang bermunajat di Arafah, merasakan ketentraman dan ketenangan bersama Allah di alam terbuka Padang Arafah, maka setiap mukmin menjalin hubungan yang erat dengan Allah hingga merasa selalu mengetahui Tuhannya. Apabila secara kasat mata dia tidak sanggup mengetahui-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihatnya.

Pada akhirnya, ibadah haji bukan sekejar ritual tahunan yang hanya menghabiskan biaya besar. Tapi mestinya membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar. Haji tidak hanya selesai di bulan-bulan haji. Pengaruhnya menembus batas berbagai pelapisan sosial hingga diluar musim haji, meluluhkan hati mereka yang sombong dan congkak, meningkatkan kebersamaan dan kedermawanan, mengangkat kemiskinan dan kebodohan, dan menjalin hubungan akrab di kalangan masyarakat yang majemuk. Bila hal itu yang dapat dilakukan sepulang melaksanakan haji, maka orang yang berhaji akan menyandang predikat haji mabrur, laisa lahum jazâ' illa al-jannah (tiada balasan baginya melainkan surga baginya). Orang-orang yang mabrur itu digambarkan oleh Rasulullah Saw. memiliki ciri-ciri antara lain: ith'âm al-tha'âm (memberi makan) kepada orang yang kelaparan, dan thib al-kalâm (baik budi dan tutur katanya). Mereka adalah manusia dermawan yang gerak dan ucapannya membawa kesantunan, kasih sayang dan kedamaian bagi semua.