Minggu, 09 November 2014

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM (FASE KE-1)



FASE PELETAKAN DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM ( AWAL HIJRIAH - 5 H / 7 – 11 MASEHI)
REF : Noor Fahd, Ekonomi Islam Jilid 1, Madrasah aliyah Keagamaan (MAK) Darunnajah.


Peletakan dasar pemikiran ekonomi Islam adalah para fuqaha (ahli fiqih/hukum Islam), kemudian para sufi (ahli tasawuf) dan ahli filsafat. Para pemikir besar muslim memiliki dasar pengetahuan dari ketiga keahlian tersebut. Ilmu ekonomi dari para fuqaha lebih bersifat normatif, yaitu terkait dengan berperilaku adil, kebijaksanaan dan batasan yang diperbolehkan dalam menyelesaikan masalah di dunia dan bersifat mikro. Pemikiran para sufi cenderung memperhatikan kepentingan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, dan menghindari kecintaan terhadap kekayaan material. Sedangkan pemikiran para ahli filsafat memberikan perhatian kepada sa’adah atau kebahagiaan dalam arti luas, yaitu mencangkup makro.
          Para pemikir ekonomi Islam mengacu kepada sumber yang sama yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Fiqh. Oleh karena itu, pemikiran mereka tetap berlaku dan diakui kebenarannya sepanjang masa, bahkan terus berkembang menjadi lebih lengkap dan sempurna dari waktu ke waktu.
KELOMPOK PEMIKIR PADA FASE PELETAKAN DASAR DASAR
EKONOMI ISLAM
FUQOHA        
Pemikiran bersifar normatif, yaitu berkaitan dengan berperilaku adil, kebijaksanaan dan batasan yang diperbolehkan dalam menyelesaikan masalah di dunia, dan bersifat mikro.
SUFI
Cenderung memperhatikan kepentingan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri dan menghindari kecintaan terhadap kekayaan material.
FILSAFAT
Memberikan perhatian kepada sa’adah atau kebahagiaan dalam arti luas, yaitu mencangkup makro
Adapun pemikir ekonomi Islam pada fase ini adalah :
1.    ABU YUSUF (731-798 M / 113 – 182 H)
Abu Yusuf adalah seorang hakim yang menekuni kebijakan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah kitab “Al-Kharaj” yang menjadi rujukan para hakim lainnya, adapun pokok-pokok pemikirannya mencangkup :
a.       Tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat serta pengembangannya.
b.      Prinsip-prinsip keadilan dan kewajaran dalam perpajakan. Imam Abu Yusuf sangat menentang keras pengenaan pajak pertanian dan retribusi tetap atas tanah. Ia menggantinya dengan pajak atas hasil produksi pertanian secara proporsional. Hal ini lebih adil dan mendorong perluasan areal pertanian serta meningkatkan pendapatan masyarakat,
c.       Penerapan kebijakan dalam pengendalian dan penentuan harga, serta pengaruh berbagai jenis pajak yang berbeda terhadap harga.
Menurut Imam Abu Yusuf, peranan negara dalam perekonomian sangat penting dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, tercapainya keadilan, serta penyiapan infrastruktur ekonomi dan perngendalian harga yang wajar. Dalam hal ini Abu Yusuf banyak memberikan saran kepada penguasa mengenai kebijakan ekonomi yang menyangkut kepentingan rakyat (kebijakan publik).

2.      MUHAMMAD BIN HASAN AS-SYAIBANI (750-804M / 132 – 189 H)
Muhammad bin Hasan As-Syaibani menuangkan pemikirannya dalam kitab Al-Ikhtisab fil Rizqi Al-Mustahab (buku tentang bekerja keras dan memperoleh rizqi yang baik) dan kitab Al-Asl. Pemikiran beliau di antaranya adalah :
a.       Pentingnya memperjuangkan pendapatan dan cara-cara melakukannya : Ijarah (penyewaan), tijarah (perdagangan), zariah (pertanian) dan sina’ah (Industri).
b.      Menguraikan keutamaan berinfaq dan ketercelaan meminta-minta dan menekankan seorang muslim agar tidak mengkonsumsi secara berlebih-lebihan (israf), hura-hura dan pamer.
c.      Menghimbau kepada kaum muslimin agar bekerja keras seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya.
Pemikiran Muhammad bin Hasan As-Syaibani lebih cenderung berkaitan dengan perilaku ekonomi individu muslim.
3.      ABU UBAID AL-QASIM BIN SALLAM (769-838M / 155 – 224 H)
Abu Ubaid adalah ulama intelektual, ahli hadits dan hakim yang terkenal. Kitabnya bertajuk “Al-Amwal”, merupakan kumpulan hadits yang berkaitan dengan sumber-sumber pemasukan dan pos-pos pengeluaran, serta penggunaan keuangan negara. Pembahasannya mencangkup :
a.       Hak penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas penguasa.
b.      Jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan rakyat berasal dari : zakat, ghanimah, usyur, fa’I, kharaj, jizyah, barang temuan, serta kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris.
c.       Pengumpulan dan pembelanjaan keuangan Negara.
Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Islam. Memuat ringkasan perilaku ekonomi masyarakat di masa Rasulullah Saw dan sahabat. Kitab ini sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ahli fiqih dan pemikir ekonomi Islam modern dalam mengkaji keuangan publik, perpajakan, tunjangan keuangan bagi orang miskin, serta penerimaan dan penggunaan keuangan negara.

4.      YAHYA BIN ADAM (752-818 M / 148 – 204 H)
Yahya bin Adam menulis tentang keuangan negara. Judul buku yang ia tulis sama dengan buku Imam Abu Yusuf yaitu “Al-Kharaj” (Pajak Tanah). Sepanjang pemerintahan daulah Abassiyah, tidak kurang dari 20 ulama menulis kitab dengan judul uang sama. Hal ini tidak lepas dari perkembangan politik dan ekonomi pada saat itu yang diwarnai dengan perluasan wilayah kekuasaan, yang meliputi berbagai bangsa, suku dan kebudayaan. Kondisi ini mendorong lahirnya pemikiran tentang pengelolaan sistem perpajakan dan keuangan negara yang baik dan kokoh.
Untuk menegaskan pentingnya produktivitas dan sumberdaya alam, Yahya bin Adam dalam bukunya memuat surat khalifah yang ditujukan untuk para gubernur. Surat yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ini berbunyi :
“Lihatlah tanah kosong yang ada di belakangmu, produktifkanlah ia secara muzara’ah (bagi hasil pertanian) dengan nisbah setengahnya, dan tanah yang tidak ditanami berikanlah dengan sepertigannya, dan jika tidak ditanam, berikanlah mencapai sepersepuluh. Jika tidak ada seorangpun yang menanaminya hibahkanlah. Jika tidak pula ditanami, maka kerjakanlah dengan mengambil biaya dari baitul maal. Janganlah kami membiarkan tanah kosong tanpa ditanami”.
Dalam upaya pemerataan ekonomi dan mengurangi antara si kaya dan si miskin, Yahya bin Adam mencantumkan sebuah riwayat :
“Ketika Rasulullah Saw berhasil mengusir Bani Nadhir dan menguasai harta yang ditinggalkannya, beliau berkata kepada para sahabat Anshar : Sesungguhnya saudara-saudara kamu Muhajirin tidak memiliki harta, karena itu jika kalian menghendaki aku akan membagi harta ini untuk kalian dan mereka. Namun jika kamu menghendaki, aku akan tahan bagianmu dan aku bagikan semuannya kepada mereka. Maka para sahabar Anshar itupun menjawab : Tidak, anda bagikan harta iniuntuk mereka saja, kami tidak usah diberi.”
Maka turunlah ayat Al-Qur’an surah Al-Hasyr ayat yang artinya :
“Dan orang-orang yang telah menempati kota madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Orang mujahirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekiirannya dirinnya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Riwayat yang dikumpulkan oleh Yahya bin Adam dalam bidang keuangan ini menjadi sangat relevan, jika ilmu ekonomi hendak mendapatkan landasan syariahnya. Harus diingat bahwa buku ini  ditulis pada abad ketiga Hijriah, ketika ilmu ekonomi belum berkembang seperti sekarang ini. Karena itu sangat dianjutkan membaca sejarah sosio-ekonomi yang berkembang pada masa hidup pengarang. Sehingga pelajaran yang diambil demi relevansi masa kini menjadi lebih komprehensif.

5.      HARIST BIN ASAD AL-MUHASIBI (859 M / 243 H)
Harist bin Asad Al-Muhasabi memiliki pemikiran tentang cara-cara memperoleh pendapatan atau mata pencaharian, ia menulis :
“Seseorang yang mencari sesuatu mata pencaharian adalah untuk menegakkan hak, dan berhenti melanggar batas yang ditentukan oleh Allah SWT dalam menjalankan perdagangan, industry serta kegiatan lainnya. Orang seperti itu mentaati Allah SWT dan berhak mendapat penghargaan sebagai orang yang berpengetahuan”.
Al-Muhasibi menulis bahwa penarikan diri dari kegiatan ekonomi tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Yang harus dihindari adalah memperoleh laba dan upah dari perbuatan yang tidak dikehendaki Allah Swt. Sebaliknya, seseorang  harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan maksud membantu muslim lainnya. Ia mengecam orang yang tidak percaya pada hari Pengadilan dan bertentangan dengan syariah dalam kegiatan ekonominya.

6.      JUNAID BAGHDADI (910 M / 297 H)
Junaid Baghdadi adalah tokoh sufi terkemuka. Ia hidup sebagai pedagang, dan sebagian besar hartanya dihabiskan untuk teman-teman sufinya yang miskin. Baginya, inti dari mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah menghilangkan motivasi diri sendiri. Hal ini demi melatih kualitas spiritual dan mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar.

7.      IBNU MISKAWAIH (1030 M / 321 H)
Ibnu Miskawaih menyumbangkan pemikiran yang sangat luas dalam khazanah pemikiran Islam. Di antarannya mengenai pertukaran dan peranan uang. Ia mengamati bahwa manusia secara alami adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup tanpa kerja sama. Kerja sama inilah yang mendorong terjadinya pertukaran dinar, dan menjadi suatu alat penilai dan penyeimbang. Ibnu Miskawaih menyadari bahwa mengukur dengan uang tidaklah sempurna, kecuali penguasa melakukan intervensi untuk menjamin keadilan di antara kedua pihak yang melakukan transaksi.

8.      AL-MAWARDI (1058 M / 450 H)
Bukunya Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah memuat tema tentang :
·         Pemerintahan dan administrasi,
·         Kewajian penguasa,
·         Penerimaan dan pengeluaran Negara,
·         Tanah Negara dan tanah umum,
·         Hak prerogatif negara untuk menghibahkan tanah (land reform) serta mengawasi pasar.
Mawardi menegaskan perlunya muhtasib (pengawas) pasar untuk menjamin kebenaran timbangan dan ukuran, mencegah kecurangan serta mengawasi agar ketentuan syariah diikuti. Dalam buku lainnya, Mawardi mengupas perilaku ekonomi individu Muslim. Ia berpendapat bahwa pertanian, peternakan, perdagangan dan industri sebagai empat mata pencaharian utam


TABEL RINGKASAN TOKOH, KARANGAN DAN PEMIKIRAN
FASE PELETAKAN DASAR EKONOMI ISLAM

TOKOH
KITAB KARANGAN
PEMIKIRAN
ABU YUSUF
Al-Kharaj
Peranan Negara dalam perekonomian sangat penting dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, tercapainya keadilan, serta penyiapan infrastruktur ekonomi dan pengendalian harga yang wajar. Dalam hal ini Abu Yusuf banyak memberikan saran kepada penguasa mengenai kebijakan ekonomi yang menyangkut kepentingan rakyat (kebijakan publik).

MUHAMMAD BIN HASAN AS-SYAIBANI
Al-Ikhtisab fil Rizqi Al-Mustahab dan Al-Asl
Cenderung berkaitan dengan perilaku ekonomi individu muslim, Di antaranya : mengurai keutamaan berinfaq, himbauan agar bekerja keras sebagimana Rasulullah, dan lain-lain.
ABU UBAID
Al-Amwal
Pembahasan mengenai :
·       Hak penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas penguasa.
·       Jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan rakyat berasal dari : zakat, ghanimah, usyur, fa’I, kharaj, jizyah, barang temuan, serta kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris.
·       Pengumpulan dan pembelanjaan keuangan Negara.
YAHYA BIN ADAM
Al-Kharaj
Pemikirannya mencangkup :
·       Produktivitas dan sumber daya alam.
·       Pemerataan ekonomi serta mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
HARIST BIN ASAD AL-MUHASIBI
-
Al-Muhasibi menulis tentang tata cara memperoleh pendapatan, bahwa penarikan diri dari kegiatan ekonomi tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Yang harus dihindari adalah memperoleh laba dan upah dari perbuatan yang tidak dikehendaki Allah Swt. Sebalilknya, seseorang  harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan maksud membantu muslim lainnya. Ia mengecam orang yang tidak percaya pada hari pengadilan dan bertentangan dengan syariah dalam kegiatan ekonominya
JUNAID BAGHDADI
-
Inti dari mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah menghilangkan motivasi diri sendiri. Dan melakukan yang terbaik dalam hubungan dengan  keabadian akhirat.
IBNU MISKAWAIH
-
Pemikirannya mengenai pertukaran dan peranan uang, dan menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan kerja sama yang akan menimbulkan transaksi peredaran uang itu sendiri. Dan menganggap penilaian dengan uang tidak sempurna kecuali penguasa melakukan intervensi untuk menjamin keadilan di antara kedua pihak yang melakukan transaksi.
AL-MAWARDI
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah
Mawardi menegaskan perlunya muhtasib (pengawas) pasar untuk menjamin kebenaran timbangan dan ukuran, mencegah kecurangan serta mengawasi agar ketentuan syariah diikuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar