FASE PELETAKAN DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM ( AWAL HIJRIAH - 5 H / 7 – 11 MASEHI)
REF : Noor Fahd, Ekonomi Islam Jilid 1, Madrasah aliyah Keagamaan (MAK) Darunnajah.
Peletakan
dasar pemikiran ekonomi Islam adalah para fuqaha (ahli fiqih/hukum Islam),
kemudian para sufi (ahli tasawuf) dan ahli filsafat. Para pemikir
besar muslim memiliki dasar pengetahuan dari ketiga keahlian tersebut. Ilmu
ekonomi dari para fuqaha lebih bersifat normatif, yaitu terkait dengan
berperilaku adil, kebijaksanaan dan batasan yang diperbolehkan dalam
menyelesaikan masalah di dunia dan bersifat mikro. Pemikiran para sufi
cenderung memperhatikan kepentingan orang lain tanpa memikirkan kepentingan
diri sendiri, dan menghindari kecintaan terhadap kekayaan material. Sedangkan
pemikiran para ahli filsafat memberikan perhatian kepada sa’adah atau
kebahagiaan dalam arti luas, yaitu mencangkup makro.
Para pemikir ekonomi Islam mengacu
kepada sumber yang sama yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Fiqh. Oleh karena itu,
pemikiran mereka tetap berlaku dan diakui kebenarannya sepanjang masa, bahkan
terus berkembang menjadi lebih lengkap dan sempurna dari waktu ke waktu.
KELOMPOK
PEMIKIR PADA FASE PELETAKAN DASAR DASAR
EKONOMI
ISLAM
|
|
FUQOHA
|
Pemikiran bersifar normatif, yaitu
berkaitan dengan berperilaku adil, kebijaksanaan dan batasan yang
diperbolehkan dalam menyelesaikan masalah di dunia, dan bersifat mikro.
|
SUFI
|
Cenderung
memperhatikan kepentingan orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri
sendiri dan menghindari kecintaan terhadap kekayaan material.
|
FILSAFAT
|
Memberikan perhatian kepada sa’adah
atau kebahagiaan dalam arti luas, yaitu mencangkup makro
|
Adapun
pemikir ekonomi Islam pada fase ini adalah :
1. ABU YUSUF
(731-798 M / 113 – 182 H)
Abu
Yusuf adalah seorang hakim yang menekuni kebijakan ekonomi. Karyanya yang
terkenal adalah kitab “Al-Kharaj”
yang menjadi rujukan para hakim lainnya, adapun pokok-pokok pemikirannya
mencangkup :
a. Tanggung
jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat serta
pengembangannya.
b. Prinsip-prinsip
keadilan dan kewajaran dalam perpajakan. Imam Abu Yusuf sangat menentang keras
pengenaan pajak pertanian dan retribusi tetap atas tanah. Ia menggantinya
dengan pajak atas hasil produksi pertanian secara proporsional. Hal ini lebih
adil dan mendorong perluasan areal pertanian serta meningkatkan pendapatan
masyarakat,
c. Penerapan
kebijakan dalam pengendalian dan penentuan harga, serta pengaruh berbagai jenis
pajak yang berbeda terhadap harga.
Menurut
Imam Abu Yusuf, peranan negara dalam perekonomian sangat penting dalam rangka
menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, tercapainya keadilan, serta
penyiapan infrastruktur ekonomi dan perngendalian harga yang wajar. Dalam hal
ini Abu Yusuf banyak memberikan saran kepada penguasa mengenai kebijakan
ekonomi yang menyangkut kepentingan rakyat (kebijakan publik).
2. MUHAMMAD BIN
HASAN AS-SYAIBANI (750-804M / 132 – 189 H)
Muhammad bin
Hasan As-Syaibani menuangkan pemikirannya dalam kitab Al-Ikhtisab fil Rizqi
Al-Mustahab (buku tentang bekerja keras dan memperoleh rizqi yang baik) dan
kitab Al-Asl. Pemikiran beliau di
antaranya adalah :
a. Pentingnya
memperjuangkan pendapatan dan cara-cara melakukannya : Ijarah
(penyewaan), tijarah (perdagangan), zariah (pertanian) dan sina’ah
(Industri).
b. Menguraikan
keutamaan berinfaq dan ketercelaan meminta-minta dan menekankan seorang muslim
agar tidak mengkonsumsi secara berlebih-lebihan (israf), hura-hura dan pamer.
c.
Menghimbau
kepada kaum muslimin agar bekerja keras seperti yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya.
Pemikiran
Muhammad bin Hasan As-Syaibani lebih cenderung berkaitan dengan perilaku
ekonomi individu muslim.
3.
ABU
UBAID AL-QASIM BIN SALLAM (769-838M / 155 – 224 H)
Abu Ubaid adalah
ulama intelektual, ahli hadits dan hakim yang terkenal. Kitabnya bertajuk “Al-Amwal”, merupakan kumpulan hadits
yang berkaitan dengan sumber-sumber pemasukan dan pos-pos pengeluaran, serta
penggunaan keuangan negara. Pembahasannya mencangkup :
a. Hak
penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas penguasa.
b. Jenis
harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan rakyat berasal dari : zakat, ghanimah,
usyur, fa’I, kharaj, jizyah, barang temuan, serta kekayaan yang
ditinggalkan tanpa ahli waris.
c. Pengumpulan
dan pembelanjaan keuangan Negara.
Buku
ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Islam.
Memuat ringkasan perilaku ekonomi masyarakat di masa Rasulullah Saw dan
sahabat. Kitab ini sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para ahli fiqih
dan pemikir ekonomi Islam modern dalam mengkaji keuangan publik, perpajakan,
tunjangan keuangan bagi orang miskin, serta penerimaan dan penggunaan keuangan negara.
4. YAHYA BIN ADAM
(752-818 M / 148 – 204 H)
Yahya
bin Adam menulis tentang keuangan negara. Judul buku yang ia tulis sama dengan
buku Imam Abu Yusuf yaitu “Al-Kharaj”
(Pajak Tanah). Sepanjang pemerintahan daulah Abassiyah, tidak kurang dari 20
ulama menulis kitab dengan judul uang sama. Hal ini tidak lepas dari
perkembangan politik dan ekonomi pada saat itu yang diwarnai dengan perluasan
wilayah kekuasaan, yang meliputi berbagai bangsa, suku dan kebudayaan. Kondisi
ini mendorong lahirnya pemikiran tentang pengelolaan sistem perpajakan dan
keuangan negara yang baik dan kokoh.
Untuk menegaskan
pentingnya produktivitas dan sumberdaya alam, Yahya bin Adam dalam bukunya
memuat surat khalifah yang ditujukan untuk para gubernur. Surat yang
diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ini berbunyi :
“Lihatlah tanah kosong yang ada di
belakangmu, produktifkanlah ia secara muzara’ah (bagi hasil pertanian) dengan
nisbah setengahnya, dan tanah yang tidak ditanami berikanlah dengan
sepertigannya, dan jika tidak ditanam, berikanlah mencapai sepersepuluh. Jika
tidak ada seorangpun yang menanaminya hibahkanlah. Jika tidak pula ditanami,
maka kerjakanlah dengan mengambil biaya dari baitul maal. Janganlah kami
membiarkan tanah kosong tanpa ditanami”.
Dalam
upaya pemerataan ekonomi dan mengurangi antara si kaya dan si miskin, Yahya bin
Adam mencantumkan sebuah riwayat :
“Ketika Rasulullah Saw berhasil
mengusir Bani Nadhir dan menguasai harta yang ditinggalkannya, beliau berkata
kepada para sahabat Anshar : Sesungguhnya saudara-saudara kamu Muhajirin tidak
memiliki harta, karena itu jika kalian menghendaki aku akan membagi harta ini
untuk kalian dan mereka. Namun jika kamu menghendaki, aku akan tahan bagianmu
dan aku bagikan semuannya kepada mereka. Maka para sahabar Anshar itupun
menjawab : Tidak, anda bagikan harta iniuntuk mereka saja, kami tidak usah
diberi.”
Maka turunlah
ayat Al-Qur’an surah Al-Hasyr ayat yang artinya :
“Dan orang-orang yang telah
menempati kota madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka
tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Orang mujahirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin)
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekiirannya dirinnya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung”.
Riwayat
yang dikumpulkan oleh Yahya bin Adam dalam bidang keuangan ini menjadi sangat
relevan, jika ilmu ekonomi hendak mendapatkan landasan syariahnya. Harus diingat
bahwa buku ini ditulis pada abad ketiga
Hijriah, ketika ilmu ekonomi belum berkembang seperti sekarang ini. Karena itu
sangat dianjutkan membaca sejarah sosio-ekonomi yang berkembang pada masa hidup
pengarang. Sehingga pelajaran yang diambil demi relevansi masa kini menjadi
lebih komprehensif.
5. HARIST BIN ASAD
AL-MUHASIBI (859 M / 243 H)
Harist bin Asad
Al-Muhasabi memiliki pemikiran tentang cara-cara memperoleh pendapatan atau
mata pencaharian, ia menulis :
“Seseorang yang mencari sesuatu
mata pencaharian adalah untuk menegakkan hak, dan berhenti melanggar batas yang
ditentukan oleh Allah SWT dalam menjalankan perdagangan, industry serta
kegiatan lainnya. Orang seperti itu mentaati Allah SWT dan berhak mendapat
penghargaan sebagai orang yang berpengetahuan”.
Al-Muhasibi
menulis bahwa penarikan diri dari kegiatan ekonomi tidak sesuai dengan ajaran Islam
yang benar. Yang harus dihindari adalah memperoleh laba dan upah dari perbuatan
yang tidak dikehendaki Allah Swt. Sebaliknya, seseorang harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan
maksud membantu muslim lainnya. Ia mengecam orang yang tidak percaya pada hari
Pengadilan dan bertentangan dengan syariah dalam kegiatan ekonominya.
6. JUNAID BAGHDADI
(910 M / 297 H)
Junaid
Baghdadi adalah tokoh sufi terkemuka. Ia hidup sebagai pedagang, dan sebagian
besar hartanya dihabiskan untuk teman-teman sufinya yang miskin. Baginya, inti
dari mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah menghilangkan motivasi diri
sendiri. Hal ini demi melatih kualitas spiritual dan mengabdikan diri pada
pengetahuan yang benar.
7. IBNU MISKAWAIH
(1030 M / 321 H)
Ibnu
Miskawaih menyumbangkan pemikiran yang sangat luas dalam khazanah pemikiran Islam.
Di antarannya mengenai pertukaran dan peranan uang. Ia mengamati bahwa manusia
secara alami adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup tanpa kerja sama. Kerja
sama inilah yang mendorong terjadinya pertukaran dinar, dan menjadi suatu alat
penilai dan penyeimbang. Ibnu Miskawaih menyadari bahwa mengukur dengan uang
tidaklah sempurna, kecuali penguasa melakukan intervensi untuk menjamin
keadilan di antara kedua pihak yang melakukan transaksi.
8. AL-MAWARDI (1058
M / 450 H)
Bukunya
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah memuat tema tentang :
·
Pemerintahan dan
administrasi,
·
Kewajian
penguasa,
·
Penerimaan dan
pengeluaran Negara,
·
Tanah Negara dan
tanah umum,
·
Hak prerogatif negara
untuk menghibahkan tanah (land reform) serta mengawasi pasar.
Mawardi
menegaskan perlunya muhtasib (pengawas) pasar untuk menjamin kebenaran
timbangan dan ukuran, mencegah kecurangan serta mengawasi agar ketentuan
syariah diikuti. Dalam buku lainnya, Mawardi mengupas perilaku ekonomi individu
Muslim. Ia berpendapat bahwa pertanian, peternakan, perdagangan dan industri
sebagai empat mata pencaharian utam
TABEL
RINGKASAN TOKOH, KARANGAN DAN PEMIKIRAN
FASE
PELETAKAN DASAR EKONOMI ISLAM
|
||
TOKOH
|
KITAB
KARANGAN
|
PEMIKIRAN
|
ABU YUSUF
|
Al-Kharaj
|
Peranan
Negara dalam perekonomian sangat penting dalam rangka menjamin terpenuhinya
kebutuhan masyarakat, tercapainya keadilan, serta penyiapan infrastruktur
ekonomi dan pengendalian harga yang wajar. Dalam hal ini Abu Yusuf banyak
memberikan saran kepada penguasa mengenai kebijakan ekonomi yang menyangkut
kepentingan rakyat (kebijakan publik).
|
MUHAMMAD BIN HASAN
AS-SYAIBANI
|
Al-Ikhtisab
fil Rizqi Al-Mustahab dan Al-Asl
|
Cenderung berkaitan dengan perilaku
ekonomi individu muslim, Di antaranya : mengurai keutamaan berinfaq, himbauan
agar bekerja keras sebagimana Rasulullah, dan lain-lain.
|
ABU UBAID
|
Al-Amwal
|
Pembahasan mengenai :
· Hak penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas
penguasa.
· Jenis harta yang dikelola penguasa untuk
kepentingan rakyat berasal dari : zakat, ghanimah, usyur, fa’I, kharaj,
jizyah, barang temuan, serta kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris.
· Pengumpulan dan pembelanjaan keuangan Negara.
|
YAHYA BIN ADAM
|
Al-Kharaj
|
Pemikirannya mencangkup :
· Produktivitas dan sumber daya alam.
· Pemerataan ekonomi serta mengurangi kesenjangan
antara yang kaya dan yang miskin
|
HARIST BIN ASAD
AL-MUHASIBI
|
-
|
Al-Muhasibi menulis tentang tata cara
memperoleh pendapatan, bahwa penarikan diri dari kegiatan ekonomi tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Yang harus dihindari adalah memperoleh
laba dan upah dari perbuatan yang tidak dikehendaki Allah Swt. Sebalilknya,
seseorang harus ikhlas dan terlibat
dalam usaha dengan maksud membantu muslim lainnya. Ia mengecam orang yang
tidak percaya pada hari pengadilan dan bertentangan dengan syariah dalam
kegiatan ekonominya
|
JUNAID BAGHDADI
|
-
|
Inti dari mendekatkan diri kepada
Allah Swt adalah menghilangkan motivasi diri sendiri. Dan melakukan yang
terbaik dalam hubungan dengan
keabadian akhirat.
|
IBNU MISKAWAIH
|
-
|
Pemikirannya
mengenai pertukaran dan peranan uang, dan menyatakan bahwa manusia adalah
mahluk sosial yang memerlukan kerja sama yang akan menimbulkan transaksi
peredaran uang itu sendiri. Dan menganggap penilaian dengan uang tidak
sempurna kecuali penguasa melakukan intervensi untuk menjamin keadilan di
antara kedua pihak yang melakukan transaksi.
|
AL-MAWARDI
|
Al-Ahkam
Al-Sulthaniyyah
|
Mawardi menegaskan perlunya muhtasib
(pengawas) pasar untuk menjamin kebenaran timbangan dan ukuran, mencegah
kecurangan serta mengawasi agar ketentuan syariah diikuti.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar